16. Angsa Hitam

22 10 0
                                    

09.20 PM

"Hoi, Doctor Hansa! Sudah siap bertugas lagi ya?" Nabiel menoleh ke belakang matanya melebar saat melihat sosok itu.

"Ah, wajahmu sangat terkejut, Doctor Hansa. Sepertinya usahaku memalsukan kematianku sudah berhasil."

Nabiel mendekat, ia takut ia ada dalam mimpi buruknya lagi. Tapi suara itu terasa bergitu nyata, dengan susah payah, ia melangkah dengan kaki satu mengingat kaki kirinya mengalami patah tulang beberapa saat lalu.

"Ayah?" Ekspresi terkejut itu seakan melekat. Tapi ia masih takut.

Ia takut itu bagian dari mimpi-mimpi buruknya tentang Red Plague.

"Oh-oh! Ahahaha, anak ayah patah tulang ya? Kemarilah nak, kau tidak merindukanku sama sekali? Aku rasa kaki kananmu tetap lincah."

Itu ayahnya, Hansa Aditya, Penembak Jitu Professional sepertinya dan seorang dokter operasi senior dalam wabah merah sepuluh tahun yang lalu. Ia dikabarkan tewas tak lama setelah laboratorium secara resmi dibuka.

"Ayah? Ini ... Ayah?"

"Iya, kau tidak rindu dengan ayah? Kupikir kau akan merindukan--"

Tidak berpanjang bicara, Nabiel memeluk erat ayahnya. Sudah genap sepuluh tahun ia ditinggalkan oleh sang ayah. Kini secara tiba-tiba ayahnya muncul dnegan keadaan sehat dan baik-baik saja.

Meski Nabiel menyadari bahwa ada beberapa bagian kostum dokter yang masih digunakan oleh sang ayah. Membuatnya yakin, ayahnya pulang bukan tanpa alasan. Bahkan kematian palsu ayahnya pun beralasan.

"Oh, hohoho, kau merindukan ayah? Apakah selama itu ayah meninggalkanmu?"

"Ayah meninggalkanku sepuluh tahun dan masih bertanya lagi!?" Protes Nabiel sembari melepas pelukannya.

"Tidak, Angsa Hitamku, kemari, peluk ayah lagi. Ayah juga sangat merindukanmu. Maafkan ayah ya, ayah melakukan banyak hal di luar sana. Ayah tidak bisa segera pulang, dan ... maaf membuatmu khawatir."

Pelukan hangat itu membuat Nabiel nyaman. Ia tidak ingin melepasnya lagi. Ia tidak mau kehilangan ayahnya lagi. Meski dalam ingatannya, perjanjian kerja samanya kembali muncul. Ia lah yang harus pergi saat ini. Bukan ayahnya lagi.

"Duduk sini. Aku tahu ada sesuatu yang mengganjal di hatimu, kan?" Ayahnya berjalan menuju kursi kayu yang terletak di depan panti asuhan itu.

"Ah, tidak yah, tidak ada apa-apa, kau tidak perlu khawatir." Nabiel menggeleng dengan senyuman masamnya.

"Ada sesuatu. Yang bahkan aku tahu. Tapi kau sendiri yang harus menyampaikannya. Benar begitu? Nabiel Hansa."

"Aku ... ayah, apakah kau akan pergi lagi?"

Sunyi memakan keduanya, tak menyisakan apapun.

- LOYALTY -

"Pergi ya? Mungkin tidak, mungkin iya. Kamu sendiri? Kamu yang akan pergi, kan?" Nabiel terlihat menatap ayahnya terkejut. Tapi ia berusaha menyembunyikannya.

"Ayah tahu dari mana? Ayah hanya asal menebakkan? Hahaha, lucu seka--" Ia berusaha menyamarkan rasa sakit di dadanya dengan tawa ringannya itu.

"Tidak Nabiel, aku tahu jika kau harus kembali ke Athereio malam ini. Itulah kenapa ... aku pulang, menemuimu."

Sang Ayah mengusap pelan wajah anaknya, ah, sudah sepuluh tahun berlalu untuknya. Sang Anak kini telah tumbuh dewasa selayaknya ia dulu.

"Ayah! Aku sudah tidak anak-anak!" Protesnya. Ayahnya tersenyum simpul.

LOYALTY [ ENDED ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang