40. Muhasabah

9K 742 17
                                    

Jakarta, Indonesia. 10 tahun yang lalu.

Tamu-tamu sudah mulai berdatangan, beberapa ada yang sedang menyantap makanannya sambil berbincang membahas beberapa hal secara acak. Sebagian memilih berkumpul dengan sang pemilik hajat. Lalu sebagian lagi memilih pulang karena masih ada kesibukan lain setelahnya.

"Selamat ya Mbak, do'ain kita ya biar bisa berangkat umroh juga. Kalau bisa sekalian naik haji." Seru seorang wanita kepada wanita paruh baya bersetelan gamis putih. Yaitu si pemilik hajat.

"Aamiin. InsyaAllah ya jeng. Mudah-mudahan jeng Marni bisa nyusul ke sana. Mungkin tahun depan. Yang penting niat sama usahanya jalan." Sahut wanita bergamis putih.

Begitulah seterusnya. Banyak ucapan selamat dan do'a restu yang diberikan para tamu undangan. Beberapa juga malah sempat-sempatnya menitip kain kafan untuk dicucikan dengan air zam-zam. Katanya sih, persiapan jika sewaktu-waktu para penitip tiba-tiba meninggal. Ada-ada saja, menurut wanita itu.

"Ma, Wahid mana? Itu mobil siapa yang nyetir? Jadi, kan, dia yang nganter kita?"

Tiba-tiba suara seorang pria paruh baya menginterupsi percakapan antara ibu-ibu. Keduanya pun melipir ke salah satu pojokan agar percakapannya tidak diganggu orang lain. Berhubung para tamu memang masih memenuhi ruang tamu rumah mereka.

"Masih di kamar. Katanya lagi siap-siap, sambil nge-charge baterai kamera. Kita foto-foto dulu sekeluarga sebelum berangkat. Nanti minta tolong Miko fotoin kita bertiga."

Beberapa menit kemudian, tibalah saatnya sesi foto keluarga juga bersama sahabat dan kerabat dekat. Momen yang paling ditunggu adalah foto keluarga dengan beranggotakan tiga orang. Yaitu Wahid dan kedua orangtuanya, selaku pemilik hajat. Kabarnya sekitar satu jam lagi rombongan akan berangkat menuju bandara. Kebetulan rumah mereka tidak terlalu jauh ketika ingin menuju ke sana, sehingga orangtua Wahid memutuskan akan menyusul rombongan menggunakan mobil pribadi.

Selesai foto bersama, waktu sudah menunjukkan sisa 30 menit lagi, sebelum berangkat ke bandara. Tak ingin mengulur waktu lebih banyak, akhirnya Wahid pun memutuskan untuk segera mengantarkan kedua orangtuanya.

Sesampainya di lobi bandara, ketiganya sudah disambut oleh para anggota rombongan umroh yang mengenakan seragam yang sama seperti yang dipakai kedua orangtua Wahid. Keduanya tadi sebelum berangkat, memang sempat mengganti pakaiannya dari yang berwarna putih menjadi batik berwarna biru berpadu coklat keemasan.

Sambil menunggu keberangkatan para anggota rombongan, Wahid iseng menyempatkan waktunya untuk memotret suasana di bandara. Terutama pada interaksi antar anggota rombongan secara candid. Tak sengaja di salah satu sudut, Wahid melihat seorang gadis kecil tengah merengek sambil menangis tersedu sedan di atas lantai. Sepintas gadis itu menyerukan bahwa dirinya tak ingin ditinggal kedua orangtuanya untuk pergi ke tanah suci Mekkah.

"Ummi....nggak mau ditinggaaaaaal. Aku ikut pokoknya. Huaaaaa....." Begitulah kira-kita kalimat yang terlontar dari bibir mungil gadis itu.

Tanpa sadar, bibir Wahid melengkung sempurna membentuk sebuah senyum yang manis. Merasa geli melihat tingkah ajaib anak seusia gadis kecil itu. Menurutnya itu sangat menggemaskan. Ditambah lagi, gadis itu yang memiliki perawakan yang gempal berisi. Membuat beberapa lemak di tubuhnya terguncang-guncang saat ia bergerak ke sana kemari saking aktifnya.

Tidak peduli menjadi pusat perhatian banyak orang, gadis itu merengek sampai berguling-guling di lantai. Kedua orangtuanya sampai kuwalahan karena tak mampu menahan berat badan anak gadis mereka itu. Pria yang dipanggil Abati pun hanya mampu berdecak sambil menggelengkan kepalanya.

"Wahid, sini Nak. Kenalin, ini Pak Khoiruddin dan istrinya Bu Zahra. Mereka ini loh yang udah ngajak Mama sama Papa untuk umroh bareng." Seru sang mama, ketika wanita itu dengan seenak hatinya menyeret sang putra menemui pasangan yang tadi berdiri berdekatan dengan si gadis kecil dan kedua orangtuanya.

"Salam kenal, Pak, Bu." Seru Wahid sopan, sambil mengangguk memperkenalkan diri.

"Ini toh, anaknya yang katanya kerja di luar negeri, itu?" Seru wanita bernama Bu Zahra. "Ganteng, ya Abi?" Ucap beliau meminta persetujuan pada suaminya. "Sudah punya calon, Nak?" Tanya Wanita itu lagi.

"Masih belum ketemu, Bu." Jawab Wahid agak kikuk. Antara kesal diberi pertanyaan mainstreem seperti itu atau sungkan mengakui jika sebenarnya ia tak mau membuka hati dulu dalam waktu dekat. Yang kemarin saja berani berkhianat. Bagaimana mau diajak ke arah yang lebih serius?

Hati ini potek, atuh.

"Muhasabah diri dulu, Nak. Sambil minta sama yang punya. Siapa tau jodohnya cepat mendekat. Kalau pun harus menunggu sedikit lebih lama, Ibu yakin dia adalah wanita yang tepat untukmu." Sahut Bu Zahra lagi, setelahnya wanita itu malah ikut sibuk menenangkan gadis kecil yang masih saja merengek di gendongan sang ayah. Wahid sempat melirik sekilas, sebelum ibunya berseru gemas.

"Tuh, dengerin. Jangan kerjaan doang yang kamu pikirin. Mama sama Papa juga udah nggak sabar loh, pengen nimang cucu. Tuh, yang mirip kayak ponakannya Bu Zahra. Gemesin banget, kan."

Dalam hati Wahid membenarkan. Betapa bahagianya jika suatu saat dirinya memiliki seorang putri kecil menggemaskan bersama wanita yang dicintai dan mencintainya. Hanya saja, untuk saat ini kenyataan tak seindah ekspektasi. Sebelum Wahid sempat meminang Fridha, perempuan itu sudah menorehkan luka yang teramat dalam. Sehingga rasanya Wahid tak ingin lagi percaya dengan yang namanya cinta.

♧♧♧

Hari ke tiga berada di Jakarta, Wahid hanya keluar rumah bila ada perlunya saja. Itu pun terkadang masih meminta tolong pada adik sepupunya untuk mengantarkan dirinya. Maklum saja, lama menetap di London, membuat pria itu agak sedikit linglung dengan jalan-jalan di ibu kota. Selain rute menuju bandara, ia sama sekali lupa rute bila hendak ke beberapa tempat yang jaraknya lebih jauh dari itu. Misalnya jika ingin ke pusat perbelanjaan atau jika ingin menikmati secangkir kopi di sebuah coffe shop.

"Makanya Mas, jangan kelamaan di London. Pas udah balik ke sini malah jadi bingung, kan. Padahal kota kelahiran sendiri, loh." Seru Miko, setelah mobilnya keluar dari komplek perumahan tempat tinggal orangtua sepupunya.

"Nyetir aja kenapa, sih? Aku lagi nggak mood nih ngedengerin kamu ngoceh." Sahut Wahid sewot.

"Huuu....dibilangin malah nyolot. Jadi, kita mau ke mana nih?"

"Coffe shop yang lagi hits sekarang di mana?" Tanya Wahid to the point.

Sekitar 10 menit berkendara, tanpa menjawab pertanyaan dari Wahid, Miko pun membelokkan mobilnya ke arah kanan menuju jalan yang lebih kecil dari jalan utama. Agak masuk ke dalam, lalu berhenti. Di depan gerbangnya tertulis 'Holla Holla Cafe and Coffe Shop'.

"Yuk, turun." Ajak Miko bersemangat. Wahid yang melihat tingkah absurd sepupunya itu hanya mengernyit bingung.

Setelah memasuki pintu kafe, pertanyaan Wahid pun akhirnya terjawab. Ternyata di dalam sudah ada seorang gadis remaja yang menunggu kedatangan mereka. Di sisi gadis remaja itu, ada sosok gadis kecil berkuncir satu. Ia duduk sambil menikmati satu cup es krim stroberi berukuran sedang.

"Hallo, adik kecil. Makin bantet aja, nih sepupu lu, Rose. Beda banget sama badan lu yang kerempeng." Seru Miko sengak. Sedangkan gadis yang dipanggil Rose itu hanya mencebik kesal, lalu menampol jidat pemuda umur 18 tahun itu.

"Huaaaaa.....Bang Mica Cola nyebelin." Rengek gadis kecil yang Miko ejek tadi.

"Lu ah, suka usil banget. Nangis kan, nih anak." Protes Rose, dengan tampang gahar ke arah Miko.

Wahid yang melihat perdebatan keduanya pun memilih undur diri menuju kasir untuk memesan minuman. Usai itu, ia kembali ke meja yang saat ini sudah penuh ditempati mereka berempat. Wahid duduk tepat berhadapan dengan gadis kecil yang sempat menarik perhatiannya kemarin, di bandara. Ah, rasanya Wahid ingin sekali mengambil alih tubuh gembul itu, lalu menaruhnya di atas pangkuan sambil memeluknya dengan sangat kencang.

Kapan gue punya anak kek gini, ya?

Coba aja, si fulanah nggak bikin ulah. Udah gue kawinin dia. Astaghfirullah!

Wahid beristighfar di dalam hati. Sempat-sempatnya dia memikirkan perempuan pengkhianat itu.

Tbc....

Tuh anak gembul bakal jadi penghasil anak buat lu, Hid. Wkwkwkwkwk

Fulanah = mengacu pada makhluk perempuan yang tak ingin disebut namanya.

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang