Jia terus saja tertawa ketika di perjalanan pulang dari restoran. Ekspresi terkejut ditambah tegang di wajah Kiran tadi sudah bisa menjelaskan bahwa wanita itu seperti tidak percaya bahwa gadis bercadar yang sempat ia tegur dan dia suruh keluar dari ruangan Wahid adalah istri dari pria itu.
Semua berawal ketika pesanan mereka diantarkan oleh Tina, salah satu pelayan restoran tersebut, lalu saat bersiap akan menyantap makanannya, Kiran begitu tampak terkejut melihat ada orang lain selain dirinya dan Wahid. Semakin syok saja ketika mpek-mpek pesanannya dimakan oleh gadis bercadar di samping pria itu. Sedangkan Wahid malah memesan menu lain. Yaitu seporsi Soto Madura.
Semua seakan semakin diperparah ketika rapat berlangsung, Kiran tampak kurang fokus. Matanya selalu tak bisa dicegah untuk melirik ke arah Jia yang terlihat begitu santai duduk di samping suaminya. Gadis itu terkesan tak peduli dengan lingkungan sekitar. Ia sibuk sendiri dengan ponselnya.
Padahal di dalam hati Jia sudah ingin sekali meledakkan tawanya. Untung saja dia memakai cadar, sehingga senyum mengejeknya tidak begitu kentara terlihat. Untuk pengalihan, ia berpura-pura sedang menonton video-video lucu di aplikasi Tik Tok.
"Jia...." Tegur Wahid dengan nada datar.
"Hehe, afwan Mas. Aku tuh bener-bener gemes liat ekspresinya Bu Kiran. Siapa suruh, sikapnya kayak gitu ke aku waktu itu? Ya dipikir aja dong, kalau aku mahasiswi Mas, aku juga pasti tahu diri untuk nggak masuk ruangan Mas tanpa ijin."
"Ada-ada saja kamu ini." Ucap wahid sambil menggelengkan kepalanya.
Walau tawanya tidak seheboh tadi. Tetap saja perasaan geli di hati Jia membuatnya tersenyum-senyum sendiri.
Beberapa menit kemudian mereka pun sampai di rumah. Hari memang sudah beranjak petang. Adzan maghrib sebentar lagi berkumandang. Baik Jia maupun Wahid bergegas memasuki rumah, lalu langsung menuju kamar. Untuk menghemat waktu, Jia mandi di kamar mereka sedangkan Wahid mandi di kamar mandi luar.
Berhubung waktu sudah cukup mepet, Wahid terpaksa absen dulu untuk berjamaah di masjid. Entah ini yang ke berapa kali dirinya sholat berdua dengan Jia. Intinya masih bisa dihitung dengan jari. Karena pria itu memang biasanya sholat maghrib di masjid hingga waktu sholat Isya. Sholat subuh juga di masjid kalau tidak bangun terlambat.
Ya, tentu saja itu hal yang baik. Mengingat bahwa laki-laki lebih diutamakan sholat berjamaah di masjid. Jia justru sangat bersyukur, suaminya termasuk pria yang taat agama. Sejauh ini, suaminya itu cukup baik dalam membimbing dirinya. Sikapnya tegas tapi tidak otoriter membuat Jia paham satu hal, bahwa pria itu begitu tulus kepadanya.
"Besok masuk kuliah?" Tanya Wahid, usai mereka menyelesaikan sholat maghrib. Tentunya mereka belum beberes karena menunggu adzan Isya dulu. Sekalian saja, kata Wahid. Agar nanti Jia tidak repot lepas pasang mukena. Begitu juga dirinya yang juga repot lepas pasang sarung dan peci.
"Iya, Mas. Mata kuliah psikometri."
"Siapa dosen pengajarnya?"
"Pak Teo."
"Oh ya? Kalau begitu sekalian saja. Mas ada titipan, boleh minta tolong kamu yang sampaikan? Mas belum bisa ketemu dia langsung beberapa hari ini. Bisa?" Tanya Wahid lembut.
Duh, jantung Jia kok, jadi jumpalitan gini sih? Apalagi sama tatapannya itu loh, tajam namun tersirat akan cinta yang begitu mendalam. Uwuw banget kan.
"Bisa, kok." Jawab Jia malu-malu singa.
"Oke, nanti Mas ambilkan di ruang kerja." Balas Wahid lagi. "Mas mau murotal dulu. Mau dampingi?"
(Btw guys, aku salah sebut di part sebelumnya. Aku ada nyebut Wahid tilawah. Harusnya sebutannya murotal. Tilawah itu artinya membaca terjemahan/arti dari isi ayat-ayat al-Qur'an.)
"Mas aja, aku cuma dengerin. Suara Mas bagus. Rasanya adem banget. Bikin hati damai." Jawab Jia jujur.
Wahid mengangguk, kemudian berdiri dan berjalan ke arah rak buku kecil di salah satu sudut kamar mereka. Kemudian ia kembali duduk di atas sajadahnya. Wahid mulai membuka lembaran al-Qur'an dan surah yang ia pilih adalah surah Maryam.
"Sini, duduk lebih dekat. Mas mau elus-elus perut kamu. Dibuka sedikit ya, mukenanya."
"Eh, emangnya nggak apa-apa, Mas? Nanti wudhunya batal." Sahut Jia agak ngegas, karena kaget dengan permintaan suaminya yang spontanitas itu.
"Tidak apa-apa. Kan, tidak menyentuh kulit perutmu secara langsung. Kalau pun iya, juga tidak masalah. Sebagian ulama mengatakan bahwa tidak akan membatalkan wudhu jika bersentuhan kulit antara suami istri kecuali berhubungan badan." Tandas Wahid mantap.
Jia baru tahu loh, tentang itu. Selama ini dirinya hanya tahu jika sekalipun sudah suami istri, jika bersentuhan kulit maka akan membatalkan wudhu. Tapi itu ketika dulu Jia masih berpegang pada hadist dari kalangan Nahdatul Ulama, mengikuti kedua orang tuanya.
Sebagian lagi ada pendapat yang berbeda. Salah satunya ada pada kalangan organisasi Muhammadiyah. Nah, qodarullah, Wahid adalah salah satu anggota organisasi Muhammadiyah. Wallahu'alam. Semua tergantung dari kita dan kembali ke kita juga. Semua pasti ada penjelasan sebab akibatnya.
Tbc....
Itu pengalamanku dulu waktu kuliah keperawatan di Universitas Muhammadiyah Banjarmasin. Alhamdulillah, meskipun kuliah di kesehatan, kami juga dikasih ilmu tentang agama. Itu nanti berhubungan ketika kita akan berhadapan langsung dengan pasien. Misalnya dari setiap tindakan, semua diawali dengan mengucap Bismillah dan diakhiri dengan Alhamdulillah. Sederhana loh, itu. Tapi manfaatnya luar biasa.
Kadang aku suka berbagi ilmu berdasarkan pengalaman ya, guys. Semoga kalian nggak keberatan. Kalau pun ada pendapat berbeda, bisa di-share ya. Biar nambah ilmunya. Segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya loh, ya. Jadi jangan berhenti menebarkan kebaikan. 😘😉
Bonus buat kalian, yg masih setia di cerita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)
ChickLitPenerbitan secara offline. Nggak ada di playstore atau platform lainnya. Cerita sudah tidak utuh. Beberapa bagian telah dihapus demi kepentingan penerbitan. ~~~~~ Menikah di usia muda memang tidak terpikirkan olehnya. Jia menjadi seorang istri dari...