Pulang ke rumah, membersihkan diri, lalu bersantai sambil menunggu kepulangan sang suami. Itu adalah serangkaian aktivitas Jia baru-baru ini. Tak ada aktivitas berat yang ia kerjakan, sebab sejak awal Wahid sudah mewanti-wanti agar Jia hanya melakukan kewajibannya sebagai istri pria itu. Dalam artian sesungguhnya.
Kalau mau lebih eksplisit lagi yaitu, melayani dalam urusan ranjang lebih utama. Untuk urusan bersih-bersih dan memasak, itu semua diserahkan pada asisten rumah tangga. Jia benar-benar dimanjakan oleh kemewahan dari suaminya.
Sekitar pukul 4 sore lewat beberapa menit, terdengar suara mobil memasuki halaman depan rumah. Dengan langkah santai, Jia membuka pintu utama dan menyambut kedatangan suaminya.
"Assalamu'alaikum, Sayang." Salam Wahid pada Jia sembari mengulurkan tangan kanannya untuk dikecup sang istri. Sedangkan dirinya mengecup pucuk kepala istrinya yang ditutupi oleh khimar rumahan. Jia nampak tersenyum di balik masker kain yang ia kenakan.
"Wa'alaikumussalam, Mas."
"Tumben, kamu nyambut Mas di depan langsung begini?" Tanya Wahid heran. Karena biasanya Jia lebih memilih menyambut suaminya ketika entah sedang berada di mana. Misalnya sedang duduk di sofa. Ia akan menunggu suaminya menyusul ke sofa, baru ia menyambut dengan sungkem pada pria itu.
"Nggak papa. Lagi pengen aja." Sahut Jia cengengesan.
"Mas jadi seneng. Apalagi pas pulang begini lagi capek-capeknya. Trus disambut senyum manis dari istri tercinta. Rasanya semua lelah jadi hilang begitu saja." Celetuk Wahid dengan tatapan penuh cinta.
"Apa sih? Mas bisa aja."
"Ya udah, yuk masuk."
Keduanya sudah ingin masuk ke dalam rumah, tapi urung ketika mendengar seruan dari seseorang dari luar pintu gerbang.
"Permisi, Mas, Mbak. Mohon maaf kalau mengganggu. Bisa minta waktunya sebentar?" Itu adalah suara dari seorang wanita. Tampak ada sesuatu yang ia bawa di tangannya. Entah apa itu.
Tak ingin dianggap tidak punya etika, Jia pun berinisiatif menyambut kedatangan wanita itu.
"Mas masuk aja duluan. Biar aku yang ke depan." Tanpa banyak kata, Wahid pun masuk ke dalam rumah.
"Ya, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" Tanya Jia sopan. Lalu mengajak wanita itu duduk di kursi teras depan.
"Ini, Mbak. Saya ada sedikit buah tangan. Saya kan, baru pindah ke rumah sebelah." Tunjuknya ke arah rumah sebelah kanan rumah suami Jia. "Nah, sebagai bentuk rasa hormat juga sekalian perkenalan, makanya saya ngasih ini. Khusus untuk tetangga terdekat. Yang di sebelah sana tadi udah saya kasih juga. Sama yang di depan. Diterima ya, Mbak. Oh ya, sekalian saya mau undang Mbak sama Masnya, untuk menghadiri acara syukuran rumah kami nanti malam sekitar jam 8. Mbak sama Masnya bisa datang, kan?"
"Oh, jadi Ibu baru pindah ke komplek sini. Duh, saya jadi nggak enak loh. Soalnya beberapa hari belakangan nggak begitu memperhatikan tetangga sekitar. InsyaAllah ya Bu, saya sama suami ke rumah Ibu nanti malam."
"Loh, Mas yang tadi itu suaminya Mbak, toh? Saya kira kakak atau omnya. Soalnya....anu....Mbaknya masih kelihatan muda banget."
Jia hanya terkekeh sambil mengusap pelipisnya. Merasa kikuk karena perbedaan dirinya dan sang suami begitu tampak. Hingga banyak yang masih salah mengira tentang hubungan mereka.
"Hehe, ya gitu, Bu. Udah biasa kok, dan sering juga bikin orang lain salah paham. Tapi saya berusaha memakluminya."
"Maaf ya Mbak, saya nggak tau. Ya sudah kalau gitu. Saya pamit pulang dulu. Masih banyak kerjaan soalnya di rumah. Maklum, baru pindahan. Banyak barang yang belum ditata. Jangan lupa ya, datang malam nanti."
"Siap, Bu. Terimakasih undangannya."
Ibu itu pun berlalu, kembali ke rumahnya.
"Siapa?" Tanya Wahid, ketika Jia masuk ke dapur dan membuka kotak bungkusan yang diberikan oleh tetangganya tadi. Rupanya itu adalah kue brownis coklat.
"Astaghfirullah!" Jia menepuk keningnya. "Aku lupa nanya nama beliau. Itu loh Mas, tetangga di rumah sebelah kanan. Aku baru ngeh, kalau rumah itu baru aja ada yang huni. Trus tadi, beliau ngundang kita di acara syukurannya nanti malam jam 8. Mas nggak sibuk kan?" Tanya Jia, lalu tangannya kembali berkutat, memotong kue brownis menjadi beberapa bagian.
"Bisa kok, kita sempatkan ke situ sebentar. Tapi Mas nggak bisa lama-lama. Soalnya masih ada pekerjaan, sisa rapat tadi siang. Kamu nggak papa, Mas tinggal sendirian di sana?"
Wahid duduk di meja makan, berseberangan dengan posisi Jia yang sedang berdiri. Setelah mencuci tangan, pria itu mengambil satu potong kue brownis tersebut.
"InsyaAllah kayaknya nggak papa kok, Mas. Lagian pasti banyak ibu-ibu juga nanti. Mas mau dibikinin minum sekalian?"
"Boleh deh, teh hangat tanpa gula. Hati-hati ya Sayang, sama air panas."
Jia mengambil air panas dari dalam dispenser. Jadi, Wahid masih mengijinkan. Berbeda jika istrinya itu sudah mendekati kompor gas, untuk merebus air. Dia akan melarangnya.
Jia hanya menggeleng, heran saja, suaminya ini sepertinya khawatir sekali kalau istrinya terluka. Tidak tau dia, kalau Jia sudah jago untuk urusan di dapur. Tapi mau bagaimana? Suaminya melarang melakukan kegiatan yang seharusnya wajib dilakukan setiap istri dalam rumah tangga.
"Mas, aku boleh ya, masak buat kamu sesekali. Aku kan, pengin juga nyenengin kamu dengan hasil masakan aku." Tanya Jia, setelah membiarkan suaminya menikmati tehnya beberapa teguk.
"Emangnya kamu bisa masak?" Tanya Wahid ragu.
"Wah, ngajak gelud. Bisa lah. Aku tuh sering bantuin Ummi di rumah waktu sebelum menikah. Mau masakan apa aja aku bisa. Sop, soto, balado, nasi liwet, nasi kebuli, nasi kuning, daging bumbu kari. Pokoknya masih banyak lagi yang aku bisa."
Wahid nampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya menggeleng tegas. Sontak saja hal itu membuat Jia langsung melongo.
"Mas...."
"Tidak boleh." Tandas Wahid dengan raut datar.
"Oke, kasih satu alasan masuk akal kenapa aku nggak boleh ngelakuin itu?" Tanya Jia mulai tak habis pikir. Menurutnya, Wahid terlalu mengada-ngada. Memangnya apa yang membuat Jia tidak boleh memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya? Bukankah semua itu memang salah satu kewajiban seorang istri?
Jia masih menunggu, tapi bukannya segera menjawab, Wahid malah berbalik badan dan keluar dari dapur entah menuju kemana. Meninggalkan Jia dengan perasaan dongkol yang luar biasa.
Tbc....
KAMU SEDANG MEMBACA
Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)
Literatura FemininaPenerbitan secara offline. Nggak ada di playstore atau platform lainnya. Cerita sudah tidak utuh. Beberapa bagian telah dihapus demi kepentingan penerbitan. ~~~~~ Menikah di usia muda memang tidak terpikirkan olehnya. Jia menjadi seorang istri dari...