"Mas, bisa minta tolong telepon Ummi? Tanyain Ummi, bisa nggak, ke sini nginep satu malam?" Pinta Jia, sedikit ragu.
Mungkin jika Ummi yang merawatnya, tidak akan terjadi masalah. Tidak ada drama perihal bau badan. Yang dia yakini, akan mual jika hanya berdekatan dengan suaminya saja. Sekalian juga sih, mau bermanja-manja dengan Ummi. Tiba-tiba saja pengen.
"Ya sudah. Dari pada kamu nggak dapat perawatan sama sekali. Mas bingung, pengen meluk tapi nggak bisa, karena kamu pasti bakal mual lagi. Melihat kamu lemes gitu, Mas jadi nggak tega. Kamunya juga nggak mau dirawat di rumah sakit. Sebentar ya, Mas telepon Ummi dulu."
Beberapa detik kemudian, panggilan telepon tersambung.
"Assalamu'alaikum, Ummi."
"Wa'alaikumussalam. Ada apa Nak, telepon Ummi sore-sore gini?"
"Begini Um. Ummi sibuk nggak, sore ini sampai besok pagi?"
"InsyaAllah nggak. Ummi bebas, bahkan sampai lusa. Kenapa?"
"Ummi bisa ke sini? Menginap."
"Loh, kenapa? Ada masalah?" Tanya Ummi bingung.
"Jia hari ini sempat pingsan waktu di kampus, sekarang masih lemes. Kemarin juga sempat mual muntah di kamar mandi. Hmmm....setelah.....setelah nyium bau badan saya. Padahal saya baru saja habis mandi. Makanya saya nggak bisa dekat-dekat. Mungkin kalau sama Ummi nggak akan berpengaruh. Saya minta tolong Ummi, kalau berkenan untuk menemani Jia beberapa waktu sampai keadaannya pulih. Minta tolong dijaga sama Bibi, tidak enak juga. Kalau mau apa-apa lebih nyaman sama Ummi. Nanti biar saya yang jemput Ummi. Supaya tidak merepotkan Abati."
"Walah-walah, sudah tes urin belum? Coba tanya istrimu, sudah berapa hari telat mens?"
"Sudah Um. Tadi juga sempat diperiksakan ke dokter kandungan. InsyaAllah, positif." Jawab Wahid dengan senyum bahagia.
"Alhamdulillah, barakallah Nak. Selamat, ya."
"Siap, Um. Aamiin. Mohon do'anya, Um."
"Jelas, Ummi selalu mendo'akan yang terbaik untuk kalian. Ya sudah, Ummi mau kasih tau Abati dulu, sekalian minta ijin. Nanti Ummi kabari kalau sudah siap. Jadi, Nak Wahid bisa langsung berangkat dari situ."
"Siap, Um."
"Ummi tutup ya, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
"Kamu mau apa?" Tanya Wahid, kembali mengalihkan pandangan ke arah Jia.
"Apa, apanya?" Tanya Jia balik, kurang connect.
"Pengen apa? Makanan atau minuman, atau apa gitu?" Ulang Wahid lebih jelas.
"Pengen makan bubur buatan Ummi. Biasanya dikasih topping lengkap. Ayam suir, irisan telur rebus, kacang hijau goreng, bawang goreng, irisan seledri dan daun bawang, bubuk koya dan kuah bumbu."
"Nggak ngerepotin Ummi? Lumayan lama loh, bikin bubur. Atau minta dibikinin Bibi saja?"
"Udah pasti beda lah, Mas, rasanya. Bubur buatan Ummi itu khas. Nggak bisa disamain dengan yang lain. Meskipun resepnya udah sama, tapi beda tangan beda juga hasilnya." Bantah Jia ngotot.
"Baiklah. Mas izin ke depan. Mau siapin mobil buat jemput Ummi. Kamu istirahat saja dulu. Oh, ya. Mungkin Mas agak lama, karena sepertinya singgah di supermarket dulu, membeli bahan-bahan untuk membuat bubur yang kamu minta."
Jia mengangguk lemah, lalu kemudian membetulkan posisi berbaringnya agar lebih nyaman. Setelahnya, memejamkan mata.
~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)
ChickLitPenerbitan secara offline. Nggak ada di playstore atau platform lainnya. Cerita sudah tidak utuh. Beberapa bagian telah dihapus demi kepentingan penerbitan. ~~~~~ Menikah di usia muda memang tidak terpikirkan olehnya. Jia menjadi seorang istri dari...