14. Ketika Hati Memilih

14.5K 1.2K 3
                                    

Sekitar 15 menit menunggu, akhirnya Wahid pun muncul dari luar pintu kafetaria. Ia tidak sendiri. Di sampingnya ada seorang pria paruh baya yang Jia ketahui adalah rektor universitas. Lalu di belakang mereka menyusul dua orang staf suaminya. Wakil dekan 1 dan 2. Sedangkan wanita yang sejak tadi duduk bersamanya adalah sekretaris dekan, suaminya.

"Eh, ada Jia toh. Saya kira tadi siapa. Kok kebetulan duduk bareng Bu Rinka. Pantesan tadi Bu Rinka nggak balik-balik ke ruangan. Ternyata ada tamu istimewanya Prof. Wahid." Seru Prof. Khoiruddin, yang tak lain adalah rektor universitas. Beliau memang sudah sangat mengenal Jia. Tentu saja, kan Prof. Khoiruddin adalah pamannya Jia. Hehe.

"Maklum, Prof. Pengantin baru. Masih anget-angetnya. Udah pada kangen-kangenan tuh, kalau beberapa jam aja nggak ketemu." Sahut Bu Rahma, wakil dekan 1.

Duh, malah digoda begini. Jia kan, jadi malu. Sedangkan suaminya hanya nyengir sambil geleng-geleng kepala. Memaklumi orang-orang di dekatnya ini memang senang bercanda, tapi tentu selalu tahu menempatkan waktu dengan tepat. Tidak asal guyon.

"Tumben, nyusul ke sini. Emang sengaja mau makan siang bareng, ya?" Tanya Bu Rahma.

"Saya memang meminta dia ke sini, Bu. Soalnya kan tadi jadwal kuliahnya cuma sampai jam 10. Ya, sekali-kali berkunjung ke sini kan, tidak apa-apa. Sekalian bisa lebih kenal dengan ibu dan bapak sekalian. "

"Hmmm....mau pamer ya, Prof. Masuk akal juga sih, biar orang-orang pada tahu kalau Prof. Wahid udah sold out." Sanggah wakil dekan 2. Jia lupa namanya. Lelaki itu pun terkekeh diikuti yang lain. Sedangkan Jia justru malah makin tak berkutik.

Wahid duduk di sebelah Jia, lalu disusul oleh Prof. Khoiruddin. Sedangkan wakil dekan 1 dan 2 duduk di seberang meja, bersisian dengan Bu Rinka.

Mereka pun menikmati makan siang tersebut dengan diiringi beberapa obrolan mengenai universitas, isu-isu terhangat dalam dunia pendidikan dan lain sebagainya. Jia di situ hanya berperan sebagai pendengar. Meski pun pengetahuannya cukup luas, tapi sungkan juga tiba-tiba ikut menimpali. Mana hampir semua pengunjung kafetaria ini adalah para petinggi universitas.

Ketika Jia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, semuanya penuh dengan para dosen dan staf fakultas. Bahkan hampir tak terlihat satu orang pun mahasiswa. Hanya dirinya, yang bertatus mahasiswi di sini. Itupun, dirinya dari fakultas tetangga.

"Mas, aku nanti langsung pulang aja kah, setelah ini?" Tanya Jia berbisik di telinga suaminya.

"Maaf ya sayang, rapat yang tadi belum selesai. Mas harus selesaikan hari ini juga. Kamu nggak apa-apa pulang duluan?"

"Iya nggak papa sih, udah biasa juga. Cuma aku mau minta ijin, mau nongki bentar sama Mai dan Qoryn. Udah lama kita nggak barengan selama masuk semester ini. Boleh ya, Mas? Sebentar aja, kok. Nggak bakal sampai sore."

"Iya, silakan. Asal kamu bisa menempatkan diri dan tidak lupa waktu. Kalau bisa, kamu sudah di rumah sebelum Mas pulang. Bisa?"

Jia mengangguk antusias dengan senyum yang mengembang lebar. Terlihat dari kedua matanya yang melengkung sempurna.

"Jia ini ponakan yang paling gemesin tante dan omnya. Soalnya kan anak dari saudara saya yang paling bontot. Suka dijahilin juga sama sepupu-sepupunya. Termasuk Hasan dan Husin. Apa lagi kalau lagi ada acara keluarga di rumah. Duh, heboh sekali mereka." Cerita Prof. Khoiruddin kepada para bawahannya. Ya, mereka memang sudah tahu perihal hubungan kekeluargaan Jia dengan Prof. Khoiruddin. Begitu pula sejarah awal kenapa Prof. Wahid bisa menikah dengan Jia.

Sedikit cerita tentang bagaimana Wahid akhirnya menambatkan hatinya pada sosok gadis mungil yang sangat periang itu. Wahid ini, dulunya adalah mahasiswa terfavoritnya Prof. Khoiruddin. Pria itu sempat beberapa kali berkunjung ke rumah beliau untuk urusan bimbingan ketika ia masih berstatus mahasiswa S3. Dan sempat beberapa kali juga ia bertemu Jia. Karena beberapa kali pertemuan, di rumah Prof. Khoiruddin sedang mengadakan acara keluarga.

Ceritanya, Wahid adalah salah satu tamu istimewa beliau. Padahal saat itu, yang hadir di acara tersebut semuanya memang beratatus keluarga. Hanya Wahid yang statusnya orang luar. Namun, karena istri Prof. Khoiruddin juga sangat mengenal Wahid, sehingga ia tidak begitu canggung lagi.

Akhirnya pada suatu ketika, tiba-tiba istri Prof. Khoiruddin memberikan pertanyaan yang tidak ia sangka-sangka.

"Udah sering ketemu keluarga Ibu, emang nggak ada satu pun yang kecantol mau dijadiin istrinya? Ponakan ibu yang cewek-cewek itu banyak yang masih single, loh."

Setelah mendengar pertanyaan tersebut, entah kenapa tatapan Wahid langsung tertumbuk pada sosok Jia yang sedang bermain ayunan yang menggantung di salah satu dahan pohon ketapang. Kebetulan acara tersebut diadakan di halaman belakang rumah Prof. Khoiruddin. Halamannya memang sangat luas dan banyak tumbuhan hias dan pepohonan.

Melihat itu, istri Prof. Khoiruddin langsung paham. Tanpa diminta, beliau malah mempromosikan Jia secara gamblang.

Tbc....

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang