38. Bukan Sebab Tak Ingin Jujur

9.2K 786 25
                                    

Jangan lupa follow, vote dan comment. 😘

♡♡♡

Di malam yang dingin ini. Nggak kok, biasa aja.

Malam harinya, setelah selesai sholat Isya dan makan malam, Jia disuruh langsung ke kamar untuk istirahat. Ditemani Wahid yang juga sengaja meluangkan waktunya agar bisa berduaan dengan Jia, sebelum perempuan itu benar-benar terlelap.

"Kamu sudah mengantuk?" Tanya Wahid.

"Belum. Kalau Mas?" Balas Jia, sambil mengatur posisinya duduk bersandar di dinding di bagian atas kepala bed. Kemudian diikuti juga oleh suaminya.

"Belum terlalu." Jawab Wahid, lalu menarik Jia ke dalam dekapannya. "Bagaimana kondisi kamu hari ini? Adek sempat rewel nggak?"

"Nggak kok, Ayah. Adek anteng kok hari ini. Nggak rewel. Paling tadi sempet nendang pas perut Bunda dielus sama Oma." Jawab Jia sambil menirukan suara anak kecil.

"Yakin? Bunda nggak bohong, kan?" Ulang Wahid, untuk meyakinkan lagi.

"Yakin lah. Masa Bunda berani bohongin Ayah, sih." Balas Jia tak mau kalah. "Hmmm....Mas, kapan Mas mau cerita soal foto waktu itu?" Sambung Jia dengan kepala yang di benamkan di dada suaminya. "Aku nggak mau berburuk sangka terus. Pengen diem dan lupain tapi nggak bisa. Semuanya terus berputar-putar di kepala."

Wahid nampak berpikir cukup lama, memandang ke arah depan dengan pandangan menerawang. Sebelum berucap, dihembuskannya nafas cukup berat. Ini tidak hanya soal aib yang tak ingin ia umbar. Tapi juga adalah salah satu bagian terburuk dalam hidupnya.

"Dia sahabat Mas. Sudah meninggal lebih dari setahun yang lalu." Jawab Wahid, setelah mengumpulkan keberaniannya.

Bukan takut untuk menyampaikan suatu rahasia kepada Jia. Hanya saja, pria lain yang bersamanya di dalam foto itu adalah sahabat yang dulu pernah menjadi bagian dari hidupnya. Seseorang yang cukup berarti. Bahkan sangat berjasa, hingga membuat Wahid menjadi sosok yang sukses dalam berbagai bidang dan usaha seperti saat ini.

Namun tak cukup membuat ia yakin akan hal yang pernah mereka lalui bersama waktu dulu. Sebab, hubungan yang mereka jalin tidak seperti kebanyakan orang. Setidaknya itu yang dikatakan sahabatnya itu. Wahid memang sempat curiga dan merasa sedikit risih. Tapi selalu ditepis oleh kata-kata manis berkedok persahabatan.

"Eh, maaf Mas aku nggak tau." Sanggah Jia tak enak hati. Diusapnya bahu sang suami. Mencoba untuk memberi rasa nyaman.

Nyatanya, seseorang yang sempat mengusik ketenangan hatinya beberapa hari belakangan ini, sudah meninggal satu tahun yang lalu. Jadi, untuk apa ia mengkhawatirkan hubungan suaminya dengan pria itu? Ah, tapi tetap saja, masih ada yang mengganjal.

"Hubungan persahabatan kami tidak seperti kebanyakan orang. Kami sangat dekat. Saking dekatnya, lalu menimbulkan kesalah pahaman. Mungkin Mas menganggap dia selayaknya sahabat dekat sesama lelaki biasa. Tapi, tidak baginya. Karena saking dekatnya hubungan kami, justru dia menganggap, kedekatan kami adalah suatu hal yang istimewa. Ya, dia seperti apa yang kamu pikirkan saat ini. Tapi Mas selalu membantahnya. Mas sadar, Mas tidak seperti dia. Mas berusaha meyakinkan dia, bahwa Mas hanya menganggapnya sahabat sekaligus saudara laki-laki. Tapi, dia tidak mau mengerti. Hingga akhirnya membuat Mas harus terpaksa menjauh darinya. Mas tidak mau tersesat. Mas masih normal, Jia. Mas tidak ingin melakukan dosa sebesar itu." Entah sejak kapan, air mata mengalir begitu saja dari kedua sudut mata Wahid. Jia yang melihat itu berusaha memberi kekuatan.

"Udah, nggak usah dilanjutin kalau Mas nggak sanggup. Aku nggak maksa Mas untuk cerita sekarang."

"Tapi, Mas nggak mau kamu salah paham lagi. Sudah cukup Mas hampir kehilangan kamu dan adek. Jangan lagi, ada kejadian seperti waktu itu." Balas Wahid lirih.

"Ya udah, Mas cerita apa yang perlu diceritakan. Tapi, nggak mesti sekarang. Aku udah ngerti kok, kenapa Mas nggak pernah cerita soal itu. Karena Mas nggak mau ngumbar aib sahabat Mas, kan? Kita cari waktu lain aja, ya. Mas udah cape gini. Besok kan, ada jadwal ngajar. Nanti bangunnya kesiangan, loh. Mending sekarang kita tidur aja dulu. Ya?"

Mungkin karena memang sedang kelelahan, akhirnya Wahid pun mengalah. Rasanya pun ia tak punya cukup tenaga jika dipaksakan untuk membuka kisah kelam itu. Sebenarnya banyak rahasia yang belum Wahid ceritakan, karena semua hampir berhubungan dengan sang sabahat. Termasuk beberapa tempat usaha yang saat ini ia miliki. Baik itu bisnis restoran, mau pun perhotelan.

Keesokan harinya, Wahid terbangun dalam keadaan tubuh yang lemas. Wajahnya agak pucat dan suhu badannya lebih hangat dari pada semalam. Serta pandangan matanya sayu.

Tepat ketika adzan Subuh, Jia terbangun. Dan terkejut, melihat suaminya masih terlelap di sampingnya. Biasanya waktu segitu Wahid sudah berangkat ke masjid. Tapi boro-boro ke masjid, bangun saja tidak. Malah terlihat bermimpi buruk dengan keringat yang bercucuran sebesar biji kacang hijau. Jia sempat mendengar suaminya itu mengigau, sambil menyebut nama seseorang dalam tidurnya.

Kalau tidak salah, Wahid menyebut nama 'Jonathan' sambil berseru 'jangan lakukan itu, jangan lakukan itu'.

Entah apa makna dari kata 'jangan' tersebut. Namun pada akhirnya Jia lebih memilih membangunkan sang suami, agar tidak bermimpi buruk lagi. Dan bersiap untuk sholat Subuh.

Tbc....

Maaf pendek

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maaf pendek. Mata udah ngantuk banget. Tangan juga udah pegel banget. Tapi mudah-mudahan nggak bikin kecewa soal alur cerita dan cara penyampaiannya. Tapi pada intinya, cerita ini masih bakal panjang kok. Karena alur di cerita JIA-WAHID ini nggak bisa dipangkas-pangkas. Aku pengen ceritanya tersempaikan dengan baik dan menditail.

Part berikutnya akan lebih panjang. Dan aku akan bawa teman-teman untuk memutar waktu kembali ke masa lalu. Mungkin di sana nanti akan menjawab misteri yang belum terpecahkan. So, jangan bosan ya, nunggu up date-annya.

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang