13. Berasa Udah Tua

14.7K 1.1K 3
                                    

Setelah jadwal perkuliahan telah habis, Jia pun segera menuju fakultas sang suami. Cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Sehingga, akhirnya ia ke sana dengan mengendarai mobilnya.

Jia memarkir mobilnya di parkiran mobil khusus mahasiswa. Sedikit canggung, karena ini adalah kali pertama ia ke fakultas tersebut untuk menemui salah satu dosen di sana alias suaminya. Karena sebelumnya ia tidak begitu memiliki kepentingan selain dulunya sempat beberapa kali menjemput kedua sahabatnya, Mai dan Qory.

Itupun, keduanya hanya akan menunggu di depan gerbang fakultas. Tidak sampai membuat Jia masuk membawa mobilnya dan sempat parkir juga. Namun setelah Jia menikah, mereka jarang pergi-pulang bareng. Dulu jika Jia yang membawa mobil, sebelum pulang ke rumah masing-masing, mereka nongkrong dahulu di kafe atau coffeshop.

Kebetulan Jia belum tahu ruangan Wahid di mana. Ia pun bertanya kepada seorang satpam yang berjaga di posnya, yang dekat dengan area parkir.

"Assalamu'alaikum, Pak."

"Wa'alaikumussalam, dek. Ada yang bisa saya bantu?"

"Begini, Pak. Saya mau ke ruangannya Prof. Wahid, di mana ya, Pak?"

"Prof. Wahid yang dekan itu, ya dek?" Tanya pak satpam yang Jia perkirakan usianya empat puluh tahunan.

"Iya, Pak." Jawab Jia sopan.

"Kalau boleh tau, adek ini siapa ya? Ada keperluan apa mau ketemu Prof. Wahid?"

Jia jadi sedikit ragu memberitahukan identitasnya. Tapi tadi, suaminya sudah berpesan jika ada yang bertanya siapa dirinya, dia harus menjawab jujur.

"Anu, saya Jia, Pak. Istrinya Prof. Wahid." Jawab Jia akhirnya dengan diiringi kekehan kecil setelahnya.

"MaasyaAllah, Bu Dekan toh ternyata. Maaf Bu, saya nggak tau. Soalnya belum kenalan. Tak kirain tadi mahasiswi baru. Soalnya masih kelihatan muda, walau pakai cadar. Gayanya itu loh, stylish sekali."

"Hehe, Bapak bisa aja. Nggak usah manggil saya begitu Pak. Kedengeran aneh. Saya masih muda, ini." Timpal Jia tak enak hati. Tapi tak urung terkekeh juga akhirnya.

"Ya sudah, kalau begitu biar saya yang antar atau adek mau ke sana sendiri?"

"Bapak kasih tau rutenya aja pak, biar saya aja sendiri yang ke sana." Balas Jia lagi. Tak ingin merepotkan si Pak Satpam.

Setelah dijelaskan oleh pak satpam, lewat mana rute tercepat menuju ruangan sang dekan, Jia pun berjalan dengan perasaan gugup. Bagaimana tidak? Saat tadi di depan pos satpam, beberapa mahasiswa sempat tak sengaja berpapasan dengan mereka dan mendengar percakapan keduanya. Mereka sempat memberi salam dan penghormatan pada gadis itu. Tapi entah perasaannya saja, kalau dari tatapan para mahasiswi justru terlihat meremehkan.

Sepanjang jalan hingga akhirnya Jia berhenti di depan pintu ruangan khusus dekan, perasaannya masih was-was. Kedua tangannya masih gemetar dan terasa dingin. I swear, ini nggak lucu. Seharusnya Jia tidak boleh merasa terintimidasi.

Sejenak ia menghela napas perlahan yang rasanya terasa berat. Kemudian baru setelahnya mengetuk pintu dengan hati-hati dan sopan.

"Ya, ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita sekitar usia 25-an ke atas tampak mengernyit setelah membuka pintu. Ia keluar dan menutup kembali pintu tersebut dari luar. Sekilas Jia bisa melihat, sepertinya di dalam sedang ada rapat.

"Saya mau ketemu Prof. Wahid, Bu. Apa beliau ada di ruangannya?" Tanya Jia dengan intonasi sesopan mungkin.

"Ada keperluan apa ya, dek, mau ketemu beliau? Kalau mau bimbingan, sepertinya belum bisa hari ini. Bukannya tadi sudah diinfokan, kalau hari ini tidak ada bimbingan dulu, karena Pak dekan ada agenda rapat. Ini saja baru setengan jalan. Sepertinya masih lama."

"Anu, Bu. Saya Jia." Jawab Jia tampak sedikit ragu. Seingat Jia wanita ini adalah salah satu staf suaminya. Dan ketika acara pernikahan mereka dulu, wanita ini menghadirinya. Jia agak sanksi, kalau dia mengenalinya. Karena tentu saja, Jia tengah mengenakan cadar. Kadang kalau orang belum terlalu mengenalnya, pasti masih belum ngeh.

"Oh, Bu Jia toh. Astaghfirullah! Maaf Bu, saya masih belum terbiasa. Soalnya baru kedua kali ini kita ketemu. Mana di fakultas ini kan, ada beberapa mahasiswi juga bercadar. Silakan, Bu. Ikut saya. Tadi Bapak berpesan, kalau istri beliau datang, saat rapat masih belum selesai, saya diminta untuk bawa ibu ke kafetaria dulu. Sebenarnya sebentar lagi jam makan siang. Kata beliau, nanti nyusul. Nggak papa kan, kita nunggu dulu?"

"I...iya. Nggak papa." Jawab Jia kikuk. Aneh banget rasanya dipanggil begitu. Padahal wanita di sampingnya ini usianya lebih tua dari dia. Tapi, karena sebagai bentuk tanda penghormatan sebab Jia adalah istri dari atasannya, wanita berhijab pashmina tersebut menanggilnya dengan sebutan 'Ibu'.  Haha, Jia kok, berasa udah tua juga ya.

Tbc....

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang