41. Definisi Mencintai Tanpa Harus Memiliki

9K 754 14
                                    

Cuma mau ngingetin. Para pembaca yang budiman. Minta tolong follow, vote and comment ya. Terimakasih 🙏

♤♤♤

Satu pekan berlalu hampir tak terasa bagi Wahid. Akhirnya setelah mengalami hal menyenangkan di kota kelahirannya, kini ia harus kembali pada kehidupan melelahkan para orang dewasa versi kota London.

"Bagaimana liburanmu? Cukup untuk mengenyahkan bayangan perempuan itu dari otakmu?" Tanya Jonathan, ketika ia dan Wahid tengah bersantai di sebuah kafe yang terletak dekat dengan sungai Thames London.

"Ya, kurasa. Tapi hanya sementara. Saat aku kembali lagi ke sini, aku menyadari bahwa semua rasanya malah semakin menyesakkan. Terlalu banyak hal yang telah kami lalui bersama. Tidak mudah bagiku untuk berdamai dengan masalah kemarin. Seperti ada yang mengganjal. Tapi aku tak yakin itu apa."

Wahid mengedarkan pandangan, ke tempat-tempat menarik di sekitar kota London, yang menjadi ciri khas kota itu. Seperti London Eye atau London Tower Brigde. Kemudian memandang satu per satu orang-orang yang berlalu lalang di sepanjang Queen's Walk.

"Dia mencarimu. Katanya nomor ponselmu tidak aktif seminggu belakangan. Apa kau akan meninggalkannya begitu saja?" Tanya Jonathan menyelidik.

"Aku sengaja memblokir nomornya untuk sementara. Apa dia tau aku pulang ke Indonesia?"

"Tidak. Aku hanya mengatakan padanya bahwa kau sedang tugas luar, ke kota seberang."

"Aku akan menemuinya. Masalah ini harus segera diselesaikan." Monolog Wahid, lebih kepada dirinya sendiri.

Namun masih tetap didengar oleh Jonathan. Pria itu hendak protes, tapi urung setelah mendengar ucapan Wahid berikutnya. "Apa pun alasan yang akan dia berikan, aku tetap tidak akan mentolelir pengkhianatan. Meski pun aku tak yakin, itu dilakukannya dengan sengaja. Joseph harus bertanggung jawab. Karena bagaimana pun Fridha masih memiliki hak atas kebahagiaannya sendiri. Walau tidak harus bersamaku."

◇◇◇

1 bulan kemudian.

Kenapa harus menunggu  1 bulan? Karena Wahid harus mengejar ketertinggalannya karena cuti bekerja selama 1 minggu. Meskipun sudah dilimpahkan kepada orang lain, tetap saja mereka harus bekerja sesuai jobdesc masing-masing. Lagi pula, Wahid tidak akan langsung yakin saja bahwa pekerjaannya benar-benar dikerjakan dengan baik oleh rekannya.

Di sebuah kafe bernuansa vintage, kedua sejoli yang sebelumnya pernah saling berbagi kasih sayang, kini duduk berhadapan dengan suasana yang menegangkan. Wahid dengan ekspresi datarnya, sedangkan Fridha dengan ekspresi memelasnya. Wajahnya pucat, dengan kantung mata yang tebal seperti tidak tidur selama berhari-hari.

"Jangan menampakkan air matamu di depan saya. Karena itu tidak akan berguna. Saya ke sini hanya untuk menyelesaikan urusan yang belum selesai. Saya beri kamu waktu tiga puluh menit untuk menjelaskan apa yang sebelumnya terjadi antara kamu dan Joseph."

"Wahid, demi Tuhan. Aku nggak bermaksud mengkhianatimu." Ucap Fridha lirih. Sebenarnya ia pun tak ingin menangis di depan Wahid. Hanya saja, menyadari sikap Wahid yang begitu dingin padanya, membuat hatinya perih. Sangat berbeda 180 derat dibanding ketika mereka masih bersama.

"Jangan keluar dari pada topik. Saya hanya butuh penjelasan, kenapa kamu berakhir seperti itu dengan lelaki itu?"

Sungguh, sakit rasanya hati Wahid mengingat kembali peristiwa itu. Rasanya ia ingin sekali berteriak dan menumpahkan segala emosi yang tertahan di dalam dada. Hanya saja ia masih punya akal sehat untuk tidak berbuat nekad.

"Saat itu, kami sama-sama mabuk. Dan aku menyadari ada yang aneh dalam diriku. Rasanya begitu panas. Sampai aku ingin sekali menceburkan tubuhku di dalam kolam air es. Joseph juga merasakan hal yang sama. Kami kehilangan kendali. Dan....aku benar-benar putus asa. Joseph awalnya berusaha untuk menolak, tapi aku terus berteriak meminta tolong. Akhirnya, tanpa bisa dicegah, kami melakukannya berkali-kali."

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang