11. Nganu

19.2K 1.2K 84
                                    

"Jadi, kamu ada cerita apa sama Miko waktu masih tetanggaan dengan dia?" Tanya Wahid, ketika mereka dalam perjalanan pulang.

Sebenarnya Mama tadi sudah menawarkan kalau mereka menginap saja, tapi Wahid menolak karena besok dia ada jadwal mengajar pagi. Jia juga ada kuliah pagi. Sedangkan mereka tidak membawa pakaian ganti.

"Nggak ada yang istimewa sih. Tapi dulu itu, aku sering liat Bang Miko sering jalan bareng sama Mbak Rose. Itu loh, sepupu aku yang waktu di acara lempar buket bunga, dia yang dapat." Jelas Jia antusias.

"Mereka sempat pacaran?"

"Nggak tau. Aku juga nggak ngerti. Kan, waktu itu aku masih kecil."

Wahid manggut-manggut. Perasaannya lebih lega. Ternyata pemikiran absurdnya tadi tidak benar.

"Maaf ya, bikin kamu nggak nyaman." Seru Jia kemudian. Ia paham betul, kalau suaminya tadi berusaha sekali menahan diri agar tidak meledak di depan keluarganya. Hanya karena rasa cemburu yang tidak berdasar. Tapi tetap saja menjengkelkan. Si Miko, tampangnya memang pengin disleding, sih.

"Biasa aja sih. Mas cuma agak sebal aja. Kok, Miko lebih tau tentang kamu dibanding Mas, suamimu sendiri." Akhirnya keluar juga uneg-uneg pria itu, yang ditahannya sejak tadi.

"Ya, wajar lah Mas. Lagian, Mas kan juga baru kenal aku waktu udah kuliah. Sedangkan Bang Mica Cola udah kenal aku sejak aku masih piyik, kinyis-kinyis. I...."

"Mulai deh, PD nya. Udah, nggak usah omongin Miko lagi. Mas bete. Coba aja, kamu nggak lagi mens. Mau minta jatah malam ini." Dengan tampang cemberut, Wahid berucap begitu santai.

"Mas ih, apa sih? Pikirannya mesum terus. Sabar ya, beberapa hari lagi kok." Jia berusaha menghibur.

"Maklum, lah. Kita kan masih pengantin baru. Masih anget-angetnya. Kamu tau sendiri kan, di umur segini Mas baru ngerasain nganu."

"Nganu? Nganu apaan Mas?" Tanya Jia heran. Tapi tak urung tersenyum malu-malu.

"Pura-pura nggak ngerti, tapi malah senyum-senyum gitu." Wahid menyentil dahi istrinya sekilas.

Lalu pecah lah tawa Jia. Tak habis pikir, dan masih tak menyangka bahwa kini dirinya sudah menikah dan bersuamikan pria berusia jauh diatas dia. Bulan depan usia pria itu memasuki 38 tahun. Duh, beruntung sekali Wahid mendapatkan Jia yang masih berusia 19 tahun ini. Masih muda dan sangat energik. Benar-benar lawan seimbang kalau mau gulat di ranjang. Ih, kan. Otaknya mulai ikutan mesum.

Sesampainya di rumah, keduanya bergegas membersihkan diri. Waktu pun sudah menunjukkan pukul 10 malam. Karena tidak ada yang perlu dikerjakan, keduanya memutuskan langsung tidur saja, setelah rapi dengan piyama couple bermotif salur.

Seperti biasa, Jia akan tidur berbantalkan lengan Wahid dengan posisi tubuh Jia yang dipeluk dari belakang oleh suaminya. Dan seperti biasa pula, tangan jahil Wahid akan dengan tak tahu situasi dan kondisi, masuk ke dalam baju piyama Jia lalu meraba-raba aset berharga perempuan itu, yang belakangan ini menjadi benda favorit suaminya.

"Gede banget, sayang. Tapi kok, selama ini nggak keliatan ya? Padahal badan kamu kecil."

"Ya iyalah nggak keliatan. Kan, aku selalu pakai gamis set khimar yang syar'i."

Wahid manggut-manggut saja. Namun, tangannya tetap aktif memberi pijatan halus pada benda kenyal itu.

"Mas, udah ah. Aku nggak bisa tidur kalau diginiin." Protes Jia. Wajahnya sudah tampak frustasi. Demi apapun, dia mengantuk sekali. Tapi suaminya tetap saja jahil padanya. Memang susah sih, karena si es batu udah punya hak atas tubuhnya. Kalau saja Jia tidak sedang haid, mungkin malam ini dia akan kelelahan luar biasa.

"Kamu langsung laporan ya, kalau udah selesai haidnya. Biar langsung tancap gas bikin dedek bayi, supaya cepet jadi."
Wahid menarik tangannya, dan sedikit membetulkan posisi baju piyama Jia. Sedangkan Jia pun berbalik menghadap pria itu. Kemudian mengecup bibirnya sekilas.

"Udah pengen banget ya, punya anak?" Tanya Jia lembut. Menyalurkan rasa hangat melalui tatapannya.

Wahid menurunkan tubuhnya, memposisikan wajahnya tepat di depan dada Jia. Lalu melepas kancing piyamanya. Tanpa bisa Jia cegah sedikitpun. Setelah semua kancing terbuka, pria itu menenggelamkan wajahnya di antara dua benda kembar di sana.

Jia mengelus rambut suaminya dengan sayang. Lalu memeluknya mesra.

"Mas pengen punya anak yang lahir dari rahim kamu, Sayang. Kamu nggak papa kan, kalau hamil sambil kuliah?"

"Nggak papa. Aku ngerti. Ya, sedikasihnya Allah saja. Aku nggak akan menolak rejeki, kok. Kalau Jia dikasih kesempatan jadi ibu secepatnya, InsyaAllah pasti ada jalannya." Balas Jia, lalu membetulkan posisi selimut mereka.

Tbc....

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang