Beberapa hari berikutnya berlalu tanpa adanya kejadian yang bermakna. Jia masih disibukkan dengan jadwal perkuliahan, begitu juga dengan kegiatan harian Wahid yang menjalani tugas sebagai dosen pengajar sekaligus sebagai dekan fakultas. Dan satu lagi, mengurus bisnis hotel.
Sudah hampir dua bulan, Jia belum bertemu secara langsung dengan Kiran. Selain karena faktor kesibukan masing-masing, Jia juga memang masih menunggu surat keterangan resmi, bahwa 50% saham restoran akan berbalik nama menjadi namanya. Sehingga nanti Wahid hanya fokus dengan bisbis hotelnya.
Menuju usia 7 bulan, kandungan Jia mulai tampak semakin membesar. Dari terakhir pemeriksaan USG, menunjukkan bahwa bayi mereka berjenis kelamin perempuan. Sungguh, Jia benar-benar antusias sekali. Apalagi ketika ia berkhayal jika nanti bayinya lahir, ia akan sangat senang mendandani putri kecilnya itu. Ah, pasti akan sangat menggemaskan.
"Acara tujuh bulanannya hari Sabtu. Tamu yang diundang jumlahnya terbatas. Soalnya nggak mau koar-koar dulu. Nanti aja pas dedek udah lahir. Baru undang lebih banyak orang." Jelas jia, di suatu sore melalui sambungan telepon.
"Kamu maunya Ummi dan Mama mertuamu yang masakin, atau pesen di tempat cathering?" Sahut Jihan.
"Kata Mas, pakai jasa koki restoran aja."
"Oh, gitu. Eh, kamu udah tau kalau suamimu punya bisnis restoran?"
"Jadi, Ummi udah tau semuanya?"
Jihan mengiyakan dengan nada polos.
"Waaaah" Jia langsung melotot tak habis pikir. Benar-benar speechless. Jadi, selama ini hanya dia yang tidak tahu tentang usaha sampingan suaminya itu. "Sejak kapan?"
"Ya, sejak awal pertama kali suamimu berkunjung ke rumah. Sekalian waktu itu bilangnya minta ijin mau meminangmu."
"Berarti Abati udah tau juga, dong?" Tanya Jia semakin penasaran.
"Iya. Waktu itu Abati cuma iseng nanya. Katanya Nak Wahid itu selain jadi dosen, kira-kira punya kerjaan lain atau nggak. Soalnya dulu waktu Uwa Khoir cerita tentang suamimu, beliau bilang mahasiswa favoritnya itu hanya bekerja sebagai dosen. Yang atas ijin Allah diamatkan sebuah jabatan yang cukup bagus. Abati juga penasaran, apa mungkin dosen sekelas Nak Wahid yang notabenenya masih muda dan hanya sebatas dosen, bisa memiliki jumlah kekayaan yang tidak bisa dianggap remeh. Kamu masih ingat tidak, waktu suatu kali suamimu bimbingan disertasi di rumah Uwa Khoir, dia datengnya pakai mobil sport mewah gitu? Abati kan penasaran, sedangkan waktu ke rumah kita, Nak Wahid cuma pakai motor matik."
Benar sekali. Waktu itu, ketika Wahid bimbingan disertasi entah keberapa sekian kalinya, bertepatan sekali saat Prof. Khoiruddin sedang kedatangan sanak saudaranya untuk menghadiri acara haul yang memang setiap setahun sekali dirayakan di rumahnya. Sebenarnya Wahid cukup jarang mengendarai mobil jika ingin ke suatu tempat. Ia lebih sering mengendarai motor gedenya.
Entah ada angin apa, hari itu dia mengendarai mobilnya untuk ke rumah Prof. Khoiruddin. Sehingga sempat membuat beberapa anggota keluarga besar Prof. Khoiruddin tercengang. Yang sadar akan hal itu awalnya dari kalangan anak muda. Seperti Hasan dan Husein, anak kembarnya Prof. Khoiruddin. Serta sepupu-sepupunya. Lalu disusul oleh para orangtua. Itu pun mereka baru sadar setelah dijelaskan oleh para pemuda pemudi itu, bahwa mobil yang Wahid kendarai adalah mobil sport mewah dengan harga selangit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)
Chick-LitPenerbitan secara offline. Nggak ada di playstore atau platform lainnya. Cerita sudah tidak utuh. Beberapa bagian telah dihapus demi kepentingan penerbitan. ~~~~~ Menikah di usia muda memang tidak terpikirkan olehnya. Jia menjadi seorang istri dari...