5. Alasanku Menikahimu Segera

28.5K 1.7K 15
                                    

Pagi ini sedikit berbeda dari pagi sebelumya. Sejak semalam, hujan turun dengan deras. Bahkan disertai guntur dan petir menyambar. Meskipun begitu, kedua insan yang katanya pengantin baru itu justru menghabiskan malam untuk saling menghangatkan satu sama lain. Jadilah sebelum adzan Subuh berkumandang, mereka terpaksa mandi besar. Untungnya ada air hangat di shower. Kalau tidak, bisa mati beku mereka karena pagi-pagi buta sudah mandi air dingin.

Langit masih kelihatan mendung dan hujan yang tidak begitu lebat lagi. Setelah sholat subuh keduanya kembali bergelung di bawah selimut. Kebetulan hari ini hari Minggu. Kegiatan di kampus memang tidak banyak di hari ini. Itu sebabnya Wahid bisa lebih banyak bersantai sebelum masuk waktu makan sarapan pagi. Di rumahnya memang sudah ada satu orang ART, semenjak sebelum ia menikah. Jadi, meskipun sudah menikah, sebisa mungkin istrinya tidak perlu banyak mengerjakan pekerjaan rumah. Wahid tidak menuntut agar Jia menjadi ibu rumah tangga biasa. Ia lebih senang jika Jia melakukan kegiatan perkuliahannya sebelum perempuan itu direpotkan oleh hadirnya bayi mereka nanti.

"Sejak kapan rambut kamu diwarnai merah begini?" Tak dapat lagi ia bendung rasa penasarannya itu sejak kemarin.

Awalnya Wahid cukup terkejut saat mengetahui istrinya memiliki rambut ombre hitam di pangkal dengan merah menyala di bagian ujungnya. Seperti anak punk saja pikirnya. Dan kalau diperhatikan lagi, penampilannya yang seperti ini begitu berbeda 180° dari ketika ia menjadi muslimah bercadar jika sedang di luar rumah.

Jadi lebih bad ass. Tampak lebih menantang. Apalagi kalau perempuan itu sudah beraksi menjadi seorang istri yang pintar memanjakan suami di atas ranjang. Wahid bakal lupa segalanya. Dia benar-benar dibuat melayang di atas awan.

"Sejak satu tahun yang lalu."

"Kok, bisa?"

"Ya bisa, lah. Emang pengen ngerasain suasana yang beda aja. Kenapa? Jelek ya?"

"Nggak, kamu tetap cantik di mata saya. Malah kelihatan lebih seksi." Bisiknya di kalimat kedua.

"Mas, ah. Bisa aja." Jia jadi salah tingkah mendengar ucapan suaminya itu.

"Saya serius. Itu kenapa saya suka sekali ngelus rambut kamu. Selain itu juga rambut kamu wangi dan lembut sekali. Jadi saya makin semangat waktu penyatuan." Bisiknya lagi.

"Maaaaas." Pekik Jia dengan suara teredam karena wajahnya ia tenggelamkan ke dada bidang suaminya. Pria itu pun semakin merapatkan rengkuhannya pada tubuh Jia yang sudah berbalut dress berwarna merah muda berbahan sutra. Begitu gemasnya, pria itu malah sempat-sempatnya mencubit pipi Jia yang tembem.

"Jia!"

"Hmmm."

"Tetaplah terus seperti ini. Jadi istri yang saya impikan. Tak banyak yang saya harapkan. Tapi satu hal saya minta. Jangan pernah tinggalkan saya, kecuali ajal nanti yang memisahkan."

"Mas, ih. Ngomong apa sih? Jangan aneh-aneh deh. Mana mungkin aku ninggalin kamu? Ngapain juga? Udah nggak perawan lagi, pula."

"Sudah tidak perawan lagi bukan berarti tidak ada yang tidak tergoda. Kamu cantik, pinter, berbakat, dan mudah akrab dengan orang baru. Kamu tahu ketakutan terbesar saya, sebelum saya benar-benar mantab melamar kamu?"

"Maaas!" Entah kenapa suasana malah berubah jadi mellow begini.

"Saya takut kamu diambil orang, saya takut keduluan orang lain. Saya sudah bilang kan, kalau saya sudah cinta sama kamu sebelum kita menikah? Itulah juga alasan saya ingin cepat-cepat menghalalkan kamu. Saya tau itu terlalu gegabah. Tapi, mengingat usia saya yang sudah bisa dikatakan tua, saya baru bisa merasakan perasaan kasmaran yang menggebu. Sebelumnya saya tidak pernah begitu. Hanya sekedar perasaan suka terhadap lawan jenis, tapi tidak berpikir jauh ke arah pernikahan. Berbeda ketika bersama kamu. Inginnya terus berada di sisimu, memandang wajah kamu tanpa takut dosa, bahkan saya bisa menyentuh kamu seperti ini. Saya sungguh hampir gila, Jia."

Mendengar ocehan Wahid yang begitu panjang lebar, membuat hati Jia menghangat. Betapa bersyukur ia bahwa suaminya begitu mencintainya, hingga takut kehilangan dirinya.

"Gimana Mas bisa seyakin itu? Padahal sejak pertama kita kenal, aku udah pakai cadar. Gimana kalau seandainya aku ternyata jelek? Mas nggak nyesel udah suka sama aku?"

Jia melepas rangkulannya pada pinggang sang suami. Lalu menatap lekat tepat pada kedua netra pria itu.

"Saya hanya menebak. Tapi tidak berharap jauh. Saya ikhlas kalau ternyata kamu jelek. Tapi setelah benar-benar melihat sendiri, saya bersyukur. Itung-itung bonus juga kan. Jadi tidak perlu dipermasalahkan."

"Mas yakin?" sambil tangannya mengusap dada pria gagah itu dari balik kaos hitamnya. Senyum Jia terkembang melihat reaksi Wahid sesuai dengan dugaannya.

"Jia..." Geram Wahid gemas. Ada rasa geli dan juga nikmat bercampur menjadi satu. Belaian halus dari tangan mungil Jia mampu membuat gairahnya naik begitu saja. Padahal niatnya tadi mereka hanya akan bersantai sampai hujan reda. Lagi pula sebentar lagi waktu sarapan akan segera tiba.

"Mas mau sarapan dulu atau lanjutin yang tadi malam?" Tanya Jia sensual. Tangannya semakin nakal meraba sampai ke bawah, di bagian paling sensitif milik suaminya.

"Jia, nakal kamu ya. Sekarang kamu panggil bibi, bilang nanti saja sarapannya. Suruh ke pasar atau ke mana saja. Yang penting tidak ada yang mengganggu." Perintah Wahid sedikit hampir tidak waras. Akal sehatnya sudah hampir hilang. Jika tidak mengingat keberadaan ART yang sibuk menyiapkan sarapan di rumahnya, mungkin Jia sudah ia terkam sekarang juga.

Tbc....

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang