19. Mblendung

16.5K 1.1K 6
                                    

Jia berbaring, sembari menghirup aroma minyak kayu putih. Mual yang tadi dirasakannya sudah berkurang. Namun masih terasa bekas-bekas muntahannya di mulut. Seperti ada rasa asam-asam pahit begitu.

Wahid yang bingung hendak melakukan apa hanya mampu menyaksikan dari sudut ranjang. Tidak bisa mendekat apalagi menyentuh istri kecilnya itu. Meski hatinya begitu menginginkannya.

"Beneran nih, Mas nggak bisa dekat-dekat kamu? Atau ada yang bisa Mas bantu, dari jauh deh nggak apa-apa."

Jia memandang lekat ke arah sang suami. Sebenarnya dia pun tidak tega memperlakukan pria itu seperti ini. Namun apalah daya, entah apa yang terjadi padanya sehingga bersikap seakan Wahid adalah musuhnya. Padahal hanya karena perihal bau badan, yang Jia sendiri yakini adalah hanya kesalahan pada indra penciumannya. Benar-benar aneh.

"Bisa minta tolong, kasih tau Bibi buatkan wedang jahe, Mas?" Pinta Jia dengan suara lemah.

"Oke, tunggu sebentar."

~~~

Hari ini Jia ada kuliah pagi, sekitar jam 8. Walau mual terasa kembali melanda, juga sedikit pusing, gadis itu tak ingin bolos. Karena pagi ini, dosen yang mengajar adalah orang yang sangat disiplin dan biasanya mengadakan kuis sebelum dan sesudah perkuliahan berlangsung. Lumayan kan, menambah nilai yang kurang. Itu juga adalah salah satu cara sang dosen untuk membantu mahasiswanya jika nanti nilai ujian tengah semester mereka kurang dari standar.

"Kamu yakin, mau tetap kuliah? Lemes gitu badannya. Mukamu juga pucat, Sayang." Tegur Wahid lembut. Ingin mendekat, dan memeluk sang pujaan hati. Tapi kembali lagi, ia harus sabar ketika Jia menutup hidungnya dengan gerakan refleks. Nasib benar ya, tidak bisa bermanja-manja dengan istri sendiri seperti biasanya.

"Nggak apa-apa, Mas. Aku ambil mata kuliah yang pagi aja. Nanti untuk yang jadwal siang, aku ijin nggak masuk. Kalau sempat, minta surat keterangan sakit dari klinik fakultas. Supaya keterangannya jelas. Nanti dikira hoax."

"Mas antar, ya. Nggak yakin deh, kamu bisa nyetir sendiri."

"Iya, tapi aku duduk di belakang, ya. Maaf." Ucap Jia melas.

"Nggak apa-apa. Yang penting Mas bisa tenang dan nggak was-was karena harus ngebiarin kamu nyetir mobil sendiri."

Selama perkuliahan berlangsung, Jia kurang begitu fokus dengan materi yang diterangkan oleh Pak Teo. Yaitu mata kuliah Psikometri. Hingga di akhir sesi, yaitu pengumpulan kertas hasil post test, Jia tiba-tiba merasa pandangannya berkunang-kunang. Ketika ingin beranjak dari meja dosen, kesadaran Jia seketika hilang. Ia pun tergeletak tak berdaya di atas lantai marmer kelas.

Sontak membuat suasana menjadi ricuh. Beberapa orang mahasiswi terpekik kaget. Termasuk Lufy dan Aura.

Teo yang melihat itu pun bergegas menelfon petugas klinik fakultas untuk membawa tandu. Karena saat ini tidak memungkinkan bagi siapa pun untuk menyentuh istri dari temannya. Ya, Teo adalah teman satu angkatan Wahid ketika sama-sama masih kuliah S1 dulu. Hanya beda program studi dan beda nasib.

Wahid yang kini sudah bergelar Profesor Doktor dengan jabatan sebagai dekan fakultas. Sedangkan Teo masih stagnan dengan gelar magister serta berada pada jabatan di tingkat kepala program studi.

"Duh, Jei. Kenapa mesti pingsan segala, sih? Sampai keringat dingin begini." Seru Aura, ketika kepala Jia ia pangku di atas pahanya. Kasian juga kalau Jia dibiarkan tiduran di lantai yang dingin itu.

Sedangkan para mahasiswa/i yang telah menyelesaikan kuisnya, disuruh segera mengumpulkan kertas hasil jawabannya dan keluar dari ruangan. Agar udara di sekitar tidak pengap dan sesak.

Jadi, kini hanya tinggal Aura, Lufy, Azalea dan Pak Teo yang tetap bertahan, sembari menunggu petugas klinik datang.

Beberapa menit kemudian, datanglah petugas klinik, lalu dengan segera mengangkut tubuh Jia dengan bantuan Aura, Azalea dan Lufy untuk memindahkannya ke tandu.

Usai diperiksa, dokter bingung sendiri dengan hasilnya. Tadi ketika Jia sudah sampai di klinik, ia sudah sadar karena di perjalanan menuju klinik, Azalea menaruh ujung botol minyak kayu putih di depan hidung teman karibnya itu.

Jia sempat ditanyai tentang kapan terakhir haid, juga diminta untuk tes urin.

Dan.....

"Saya tidak tau apakah ini adalah berita baik atau justru berita buruk untukmu. Tapi, hasilnya tidak bisa dibantah. Kamu positif hamil." Terang dokter perempuan dengan stetoskop yang menggantung di lehernya itu.

"Hah?"

Jia terpaku di tempatnya. Begitu pula ketiga temannya. Meski pun si dokter berbicara dengan intonasi yang pelan, tetap saja membuat mereka terkejut luar biasa.

Memang benar, Jia terlambat sekitar lima hari. Dan memang sudah mengalami tanda-tanda kehamilan seperti mual dan pusing. Hanya saja ia kurang peka. Bahkan suaminya sudah menawarkan untuk diperiksakan ke dokter. Tapi dia menolak, dan menganggap itu hanya sakit biasa akibat kelelahan.

Ingin menyangkal, tapi jika diingat-ingat lagi, selama hampir satu bulan lebih, bahkan beberapa hari lagi usia pernikahan Jia dan Wahid, genap dua bulan. Mereka cukup rutin nganu. Yang terakhir itu pas kemarin petang. Di kamar mandi. Walau hanya satu kali.

Belum sempat Jia merespon, dari pintu masuk sudah terdengar seruan seseorang dengan suara khas laki-laki dewasa. Jia mengenal suara itu.

"Jia!" Panggil suara itu datar.

"Mas." Balas Jia memelas. Demi apapun, dia tidak ingin suaminya marah.

"Bagaimana keadaan istri saya, dokter?" Tanya Wahid, berusaha mengalihkan perhatian.

Pria itu mengerti, Jia tidak bisa dimarahi. Gadis itu tergolong wanita yang sangat sensitif. Menasehatinya tidak bisa dengan cara marah-marah dengan emosi yang meledak-ledak.

"Istri?" Gumam Aura dan Lufy berbarengan. Sepaket dengan tampang melongo. Ah, kali ini Jia tidak bisa bersembunyi lagi. Pasti ketiga temannya itu akan menginterogasinya setelah ini.

Tbc.....

Wahid itu hobi sekali baca buku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wahid itu hobi sekali baca buku. Di rumahnya ada ruangan khusus sebagai perpustakaan. Baru-baru ini, Jia numpang tempat untuk menaruh buku-buku tebal berisi cerita fiksi miliknya. Apa lagi kalau bukan novel dengan genre komedi romantis? Hanya beberapa saja buku-buku tentang Psikologi.

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang