28. Malas Debat

10.9K 882 6
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.45 WIB. Jia mulai merasa bosan. Keadaan ruangan pun terasa sangat lengang, karena semua staf sedang melakukan aktivitasnya masing-masing. Bu Rahma dan Pak Ibrahim selaku wakil dekan 1 dan wakil dekan 2 juga sedang mengajar. Sedangkan Bu Rinka tadi pamit katanya akan pergi ke ruangan rektor. Jadi, kini Jia sendirian di dalam ruangan itu.

Beberapa menit berlalu, saat Jia tengah asik menonton lagu religi di aplikasi youtube, tiba-tiba ada suara pintu dibuka dari luar. Kebetulan tadi pintu itu ditutup oleh Wahid sejak pria itu ijin keluar untuk mengajar, mengisi kelas pagi.

"Ya? Ada yang bisa dibantu?" Tanya Jia, ketika mendapati sosok seorang wanita bertubuh tinggi semampai dengan rambut pendek yang digerai tanpa aksesoris apa pun, berdiri mematung di ambang pintu. Wajahnya cantik khas wanita Indonesia.

Sekilas raut wajahnya nampak terkejut melihat Jia yang kini sudah berdiri dari duduk santainya. Sedikit kaget juga kan, kok orang ini tiba-tiba masuk tanpa permisi dulu.

"Maaf, Anda siapa ya? Kok bisa-bisanya ada di ruangan Prof. Wahid, sendirian? Setahu saya, selama ini Prof. Wahid tidak pernah mengijinkan mahasiswi menunggu di dalam ruangan pribadinya seperti ini." Tanya perempuan itu heran. Kedua netranya seperti memindai penampilan Jia dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Saja Jia, Bu. Ibu nyari Prof. Wahid? Kebetulan beliau sedang mengajar, sekarang. Mungkin sekitar jam 12 baru selesai."

"Iya, saya tahu. Barusan saya nge-chat beliau. Trus kamu ngapain tetap di sini? Kalau mau bimbingan, harusnya janjian dulu kan? Setahu saya, kalau pun Prof. Wahid melakukan janji bimbingan, biasanya mahasiswi disuruh menunggu di kursi yang ada di luar. Apalagi saat ini semua staf beliau sedang tidak ada di ruangan."

"Itu...." Entah kenapa Jia tiba-tiba sulit untuk menjelaskan? Belum lagi, wanita di hadapannya ini seperti tidak ada lelahnya menyela perkataannya. Bahkan sesuka hatinya melontarkan kalimat yang membuat Jia malas mendebatnya.

"Sudah, sudah. Sebaiknya kamu keluar. Saya juga habis ini keluar. Tidak enak kalau ketahuan sama yang lain. Kalau ada barang yang hilang kan, takutnya kamu yang dituduh mengambilnya. Saya nggak nuduh kamu loh, ya. Cuma mengingatkan." Cerocos wanita itu, tanpa repot mendengar balasan dari Jia.

Wanita itu menaruh sebuah map di atas meja kerja Wahid, entah apa isinya. Lalu setelahnya mengajak Jia keluar dari ruangan si Bapak Dekan.

Bayangkan saja kalau Anda di posisi Jia. Betapa kesalnya saat ini perasaannya. Rasanya ingin sekali dia memukul bibir wanita itu agar tidak sembarangan bicara terhadap dirinya. Apa wanita itu tidak tau, kalau Jia adalah istri atasannya? Wah, entah Jia terpaksa memaklumi atau apa. Yang jelas, ia tau, tidak sopan membantah perkataan seorang guru/dosen. Maka dari itu, ia terpaksa menuruti perintah wanita itu. Iyain aja, Jia malas debat.

"Nah, kalau di sini kan nggak masalah. Ingat ya dek, lain kali etikanya dijaga. Kalau dosen nggak nyuruh masuk, jangan masuk. Nanti kamu sendiri yang kena omel beliau. Masih bagus kamu ketemu sama saya. Kalau Prof. Wahid tahu, bisa marah besar, tuh beliau. Ya sudah. Saya mau balik ke ruangan saya dulu." Wanita itu pun kemudian berlalu.

Sejenak Jia terpaku di tempatnya duduk saat ini. Dia baru saja sadar kalau wanita itu adalah Bu Kiran. Terlihat dari nametag yang menggantung di lehernya. Salah satu dosen perempuan yang sempat digosipkan dekat dengan suaminya. Menurut akun gosip kampus yang sempat dibicarakan oleh Mai dan Qory. Oh, jadi begitu. Merasa sok berkuasa, dia. Jia hanya geleng- geleng kepala.

Beberapa menit kemudian, Jia kembali dikejutkan oleh sapaan seseorang. Suaranya khas suara wanita. Tapi kali ini terdengar lebih lembut dan sopan.

"Loh, Bu Dekan kok duduk di sini? Bukannya tadi disuruh nunggu di dalam?"

Ya, itu adalah Rinka. Sekretaris suaminya.

"Nggak apa-apa Bu. Tadi memang pengen aja. Soalnya ruangan lagi kosong. Saya nggak enak kalau duduk sendirian di dalam. Takutnya ada berkas berharga yang nggak sengaja lecet atau apa. Bukannya saya takut akan disalahkan. Tapi ya...gitu." Jawab Jia, sungguh jauh dari alasan sebenarnya.

Rinka tampak mengangguk sembari tersenyum tipis. Walau sedikit ragu dengan jawaban yang Jia berikan padanya.

"Ya sudah kalau begitu. Sebaiknya sekarang Bu Dekan masuk saja. Kan sudah ada saya. Tadi juga sudah dititipin sama Prof.Wahid. Kata beliau suruh nemenin istrinya. Takutnya bosan."

"Eh, Bu Rinka bisa saja. Hehe." Sanggah Jia agak salah tingkah. Keduanya pun masuk ke dalam ruangan.

Rinka sudah meminta Jia masuk saja ke ruangan si Bapak Dekan. Tapi gadis itu menolak. Alasanya karena merasa tidak sopan kalau meninggalkan Rinka di luar sendirian. Bukankah katanya tadi kehadiran perempuan itu untuk menemani Jia? Walau sebagian besar fokusnya mengarah pada pekerjaan yang saat ini kembali ia tekuri. Tapi, akan lebih nyaman Jia tetap berada di sekitar perempuan itu, walau pada kenyataannya mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.24 WIB. Tepat saat itu Wahid masuk ke dalam ruangan dekanan. Pria itu sedikit terkejut mendapati istrinya duduk di salah satu kursi meja rapat.

Bukankah saat ia tinggalkan tadi, gadis itu duduk di sofa yang ada di dalam ruangan pribadinya? Tapi akhirnya ia tidak ambil pusing. Mungkin Jia memang sedang bosan karena harus duduk sendirian di ruangannya, makanya memilih keluar dan duduk di situ.

Tbc....

Kira-kira siapa ya, yang cocok jadi visualnya Bu Kiran? Nanya aja nih, ya. Kalau nggak ada yg jawab, nanti aku kasih liat versiku.

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang