44. Jia Yang Perhatian Tapi Suka Jahil

9.3K 775 9
                                    

Jia meletakkan kain kompres di atas dahi suaminya yang berbaring setengah duduk.

"Mas ijin nggak kerja dulu, ya. Biar aku yang kasih tau Bu Rinka kalau Mas lagi sakit." Bujuk Jia lembut. Tangannya pun tak tinggal diam. Dipijitnya lengan hingga jari-jari tangan suaminya.

Wahid mengangguk saja. Sebab keadaannya saat ini memang tidak bisa diajak kompromi. Sudah badannya lemas, kepalanya pun terasa pusing sekali.

Jia meraih ponsel Wahid yang terletak di atas meja dekat dengan colokan listrik, lalu mendial nomor Rinka, sekretaris dekanan.

"Assalamu'alaikum. Selamat pagi, Prof." Seru Rinka di seberang sana.

"Wa'alaikumussalam. Selamat pagi, Bu Rinka."

"Eh, Bu Jia toh. Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Tanya Rinka, terdengar kaget mendengar suara Jia. Mungkin tadi perempuan itu mengira yang menelponnya adalah Wahid. Ternyata Jia, istri Wahid.

"Begini Bu, saya mau tanya jadwal Prof. Wahid apa aja hari ini?"

"Hari ini beliau ada jadwal mengajar di tiga kelas. Setelahnya kosong." Jawab Rinka mantab. Karena perempuan itu memang sudah hapal jadwal Wahid untuk beberapa hari ke depan.

"Bisa diwakilkan orang lain, nggak Bu? Soalnya gini, suami saya lagi sakit. Badannya panas, demam tinggi. Sedangkan sekarang waktunya sudah mepet. Jadi nggak mungkin, beliau tetap turun mengajar sementara kondisinya sedang drop begini." Ucap Jia.

"Loh, Bapak sakit, Bu? Iya, nggak apa-apa kalau beliau memang tidak bisa mengajar hari ini. Nanti saya akan coba menghubungi asdos beliau. Mudah-mudahan bisa. Kira-kira kondisi beliau saat ini bagaimana Bu? Kalau memang membutuhkan istirahat lebih banyak, saya akan membuat surat ijin beliau sampai beberapa hari ke depan."

"Sepertinya dua hari cukup, Bu. Hari ini sama besok. Jadi, lusa sepertinya sudah bisa beraktivitas seperti biasanya." Jawab Jia, sambil satu tangannya memijat kepala suaminya. Tiba-tiba saja suaminya itu mengeluh pusing.

"Baik, Bu."

"Ya sudah kalau begitu. Sebelumnya saya ucapkan terimakasih, Bu Rinka. Mohon maaf kalau merepotkan."

"Tidak masalah, Bu Jia. Itu memang sudah jadi tugas saya. Semoga Bapak cepat sembuh."

"Aamiin. Kalau begitu saya tutup ya, Bu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Sambungan pun terputus. Perhatian Jia kembali kepada suaminya sepenuhnya.

"Mas mau makan apa? Mau dibikinkan bubur?" Tanya Jia, setelah menaruh ponsel suaminya di atas nakas. Dielusnya dengan lembut pipi pria itu.

"Mas nggak selera, Sayang." Jawab Wahid serak.

"Trus gimana, dong? Mas kan, harus  makan dulu sebelum minum obat. Biar aku minta tolong Bibi bikinin aja dulu, ya. Nanti coba dimakan."

Tak ingin berdebat, Wahid pun mengangguk saja.

"Sebentar, ya. Aku ke bawah dulu, mau ngasih tau Bibi."

Sambil turun ke bawah, Jia menghubungi nomor Azalea.

"Le, lo sekarang di mana?" Tanya Jia, setelah sebelumnya mengucap salam.

"Masih di rumah. Lagi siap-siap mau ke kampus. Kenapa?"

"Gue mau minta tolong, ijinin gue ke Pak Zafran. Gue nggak bisa ke kampus hari ini karena laki gue lagi sakit. Gue nggak tega ninggalinnya. Dia demam tinggi, cuy. Was-was gue kalau ditinggal tanpa ditemenin orang."

"Lah, Bi Darmi ke mana?"

"Bi Darmi ada. Cuma gue nggak enak aja ngerepotin beliau. Ini aja gue mau minta tolong beliau untuk dibikinin bubur. Dan habis ini gue harus langsung balik ke kamar."

"Oh, oke. Nanti gue kasih tau Pak Zafran. Eh, trus sama dosen yang lain gimana?"

"Gampang. Pak Zafran nanti yang kasih ijin gue ke Pak Teo dan dosen lain yang ngajar kelas kita hari ini."

"Enak bener hidup lo, pakai kekuatan orang dalem. Udah Pak Zafran sepupu laki lo, Pak Teo pun sohibnya laki lo. Jangan bilang semua dosen di sini punya ikatan kekerabatan sama lo." Seru Azalea, lalu mendengus sebal.

"Nggak semua kok. Sisanya cuma Prof. Khoir. Kakaknya bapak gue." Jawab Jia terkekeh geli.

"Kampret emang lo." Ucap Azalea terkejut. Lalu tanpa memberi penjelasan lebih detil, Jia langsung memutus sambungan secara sepihak. Mengabaikan Azalea yang sedang berusaha untuk tidak memaki sepagi ini.

"Bibi masak apa hari ini?" Tanya Jia, saat sudah sampai di dapur, dan melihat Bi Darmi sedang mengupas bawang.

"Seperti yang Non Jia minta kemarin. Ayam goreng kalasan sama tumis tahu, tempe dan tauge."

"Emmm....Bi. Aku boleh minta tolong sekalian bikinin bubur? Mas lagi sakit, baru aja pagi ini."

"Loh, Tuan sakit apa Non? Nggak dibawa ke dokter?"

"Sakit demam biasa kok, Bi. Cuma nanti aku coba hubungi dokter keluarga aja, biar nggak repot dibawa ke rumah sakit."

"Ya sudah, ini Bibi buatkan sekalian. Non balik ke kamar saja. Siapa tau, Tuan butuh bantuan Non Jia."

"Siap, Bi. Makasih ya Bi udah mau bantuin. Aku balik ke kamar dulu. Maaf aku tinggal."

"Nggak apa-apa, Non. Itu memang sudah tugas Bibi."

Sesampainya di kamar, Jia melihat suaminya hendak bangun dari tempat tidur mereka.

"Mas, mau ke mana?" Seru Jia, lalu berjalan lebih cepat ke arah suaminya.

"Mau ke kamar mandi." Sahut Wahid masih terdengar serak.

"Sini, aku bantuin."

Jia membantu Wahid ke kamar mandi. Meski pun tubuhnya kecil dan pendek, kalah jauh dari suaminya, setidaknya dia bisa dijadikan penopang saat Wahid berjalan menuju kamar mandi.

"Mas mau ngapain?"

"Pipis."

"Kirain mau mandi. Jangan dulu, ya. Nanti biar aku yang seka badan Mas pakai air hangat."

"Iya."

"Mau aku bantuin lepas celananya?" Tanya Jia jahil. Sontak saja suaminya langsung melotot.

"Jangan ngadi-ngadi, kamu. Mas lagi sakit gini, mau ngajak gelud?"

Jangan salah, walau keadaan Wahid sedang sakit, kalau bersinggungan dengan Jia sedikit aja, belalainya bisa langsung tegak. Ya, meski pun nggak setegak saat dalam keadaan sehat.

"Hehe, becanda Mas. Lagian ini bajunya udah kotor juga. Sekalian dilepas aja ya, nanti diganti setelah badannya diseka.

Wahid tak menjawab. Ia menatap Jia tajam sebelum istrinya itu keluar dari sana dengan tawa cekikikan.

Bersambung...

Dah, ya Mas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dah, ya Mas. Istirahat dulu. Nanti deh, kapan-kapan lanjutin kerjanya. Lagi sakit, juga. 🤭

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang