42. Titik Awal Kesuksesan

8.5K 701 0
                                    

Jakarta, Indonesia. 4 tahun lalu.

Tepat 5 tahun berlalu, Wahid menjalani kehidupannya yang baru sebagai seorang pria ambisius. Sambil mencari peluang usaha yang mungkin akan menguntungkannya, Wahid bekerja menjadi seorang dosen di sebuah universitas ternama di kota itu.

Tak sedikit perempuan yang berusaha mendekatinya. Namun, tak satu pun ia hiraukan. Di pikirannya, ia masih ingin meraih beberapa hal dalam hidupnya, sampai nanti siap untuk membuka kembali hatinya. Tak jarang pula ibunya menagih kepastian akan hadirnya seorang menantu di rumah. Tapi Wahid terus saja mengelak, bahwa ia belum menemukan yang cocok.

Sempat beberapa kali sang ibu menawarkan untuk mencarikannya jodoh, Wahid justru menolaknya mentah-mentah.

"Banyak yang suka, Ma. Tapi Wahid belum ingin menikah dalam waktu dekat. Mama do'akan saja agar anak Mama ini menemukan jodoh yang tepat." Ucapnya saat itu. Lalu mengecup pipi sang ibu sebelum akhirnya berlalu dengan senyum dipaksakan.

Selama 5 tahun, Wahid masih berhubungan baik dengan sahabatnya Jonathan. Pria itu masih betah dengan usaha nightclub-nya. Namun, belakangan sudah merambah ke dunia kuliner. Bukan tanpa alasan pria itu memilih bisnis restoran. Sebab, Jonathan memiliki lisensi sebagai chef profesional setelah menyelesaikan sekolah memasaknya selama 3 tahun, lalu pengalaman kerja 1 tahun di Perancis.

Lalu, bagaimana kabar Fridha dan anaknya? Terakhir kali Wahid dengar, kabarnya perempuan itu akhirnya menikah dengan seorang pria yang mau menerima dirinya dengan sang anak. Berita itu ia dapatkan dari Jonathan. Wahid pun turut bahagia. Sehingga tidak merasa risau lagi jika dirinya harus tinggal jauh dari kedua orang itu. Dan secara otomatis, Wahid pun tak perlu lagi mengurusi kehidupan mereka. Pantas lah, hal itu memang terjadi. Selama 5 tahun itu pula ia putus kontak dari Fridha.

Joseph? Laki-laki itu lenyap bak ditelan bumi. Wahid pun tak ingin ambil pusing dengan mengurusi manusia tidak beradab itu.

◇◇◇

"Aku akan menetap di Indonesia, sebentar lagi." Seru Jonathan di suatu hari dari sambungan telepon.

"Lalu bagaimana dengan nightclub-mu?" Tanya Wahid penasaran.

"Aku akan menyerahkannya pada salah satu orang kepercayaanku. Kepemilikan masih atas namaku. Tapi aku tak akan lagi sering-sering mengelolanya. Kami akan bagi hasil. Perjanjiannya, dia akan mendapatkan setengah dari keuntungan. Aku tak keberatan. Karena awalnya aku justru ingin menyerahkan semuanya padanya. Tapi dia tidak mau. Katanya belum memiliki banyak pengalaman. Dia takut tidak bisa mengelolanya sepenuhnya."

"Oh ya? Kalau begitu kau akan membuka usaha apa di sini nanti?"

"Seperti yang sudah pernah aku katakan padamu. Aku akan membangun sebuah resort di pulau Bali, lalu beberapa restoran di sekitarnya. Pusat dari semua usaha itu akan berkembang di sana. Bagaimana menurutmu?"

"Itu bagus. Akan lebih bagus lagi jika kau membuka peluang kerja untuk penduduk lokal. Aku setuju dengan idemu. Tapi, apa kau sudah diskusikan itu dengan keluargamu?"

"Mereka menerimanya. Asalkan aku tidak lupa pulang setiap setahun sekali." Jawab Jonathan terkekeh geli.

Beberapa detik Wahid terdiam, tiba-tiba saja ia teringat tentang rencananya untuk membuat sebuah tempat usaha. Membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain, adalah salah satu impiannya. Ini adalah kesempatan baginya untuk berguru dengan Jonathan. Ia tahu, Jonathan adalah orang yang tepat untuk diajak berdiskusi, tentang langkah apa yang pertama kali harus ia ambil.

"Hallo, Wahid. Kau masih di sana?" Tanya Jonathan heran, sebab sabahatnya itu tiba-tiba tak lagi bicara.

"Hah, oh ya. Tentu." Sahut Wahid tersentak kaget, tersadar dari lamunannya.

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang