17. Kepo

13.3K 1K 17
                                    

Sebentar lagi menjelang Maghrib, Jia masih mendiamkan suaminya. Atau lebih tepatnya, Wahid yang belum mau menegur istrinya lagi setelah perdebatan mereka di dapur tadi sore.

Jia pun tak melihat keberadaan suaminya di kamar mereka. Begitu juga di ruang keluarga. Namun, mobil dan motornya masih terparkir rapi di dalam garasi. Itu artinya, pria itu masih berada di dalam rumah. Satu-satunya tempat yang belum Jia periksa adalah ruang kerja sang suami.

Tanpa berlama-lama lagi, ia pun memeriksanya ke sana. Dan benar saja, suaminya memang sedang berada di dalam ruang kerjanya. Pria itu tampak masih fokus dengan pekerjaannya. Sehingga tak menyadari kehadiran Jia.

"Mas." Panggil Jia pelan. Masih belum ada respon. Sepertinya Wahid sudah menyadari kehadiran Jia. Tapi masih enggan meladeninya. Dengan sedikit keberanian, Jia mencoba mendekat dan mengelus kedua bahu sang suami lalu memeluknya dari belakang.

"Mas marah? Maaf ya. Kalau Mas memang nggak ngijinin aku buat masak, ya udah. Aku nggak akan ngelakuin itu. Tapi jangan gini. Aku bingung, Mas tiba-tiba diemin aku. Rasanya...." Kedua mata Jia sudah berkaca-kaca. Dadanya mulai terasa sesak. Suaranya tercekat. Rasanya ia tak sanggup melanjutkan ucapannya.

Wahid menghentikan gerakan tangannya di atas keyboard komputer, kemudian menghela nafas panjang. Lalu memutar tubuhnya agar berhadapan dengan sang istri. Bisa ia lihat, wajah gadis itu tampak memelas.

Dengan gerakan pelan, ia dudukkan Jia di atas pangkuannya. Mereka saling berhadapan dengan posisi kaki Jia yang mengangkangi kedua pahanya, berhubung Jia mengenakan celana panjang, sehingga tidak repot. Tanpa banyak kata, Jia pun langsung memeluk erat sang suami.

"Mas kenapa sih, kok sensi banget kalau setiap kali aku ngebahas soal memasak?" Mengalirlah air mata yang sejak tadi Jia tahan. Meski tidak sampai sesenggukan. Setidaknya dada yang tadi terasa sesak menjadi lebih lapang.

"Mas akan jelaskan, tapi tidak sekarang."

"Tentang?"

"Alasan kenapa kamu nggak boleh masak."

"Janji, bakal ngasih tau?" Tanya Jia memastikan. Dilepasnya pelukan mereka secara sepihak. Ia ingin melihat apakah ada kebohongan dari netra pria di hadapannya ini.

Wahid mengangguk sembari menghapus bulir air mata yang masih menempel di sudut mata Jia.

"Ya sudah. Sebaiknya sekarang kita siap-siap. Katanya tadi ada acara kan, di rumah tetangga sebelah?"

"Hmmm. Tapi mau digendong kayak gini aja, sampai ke kamar." Ucap Jia manja, lalu kembali mengeratkan pelukannya di leher suaminya itu.

Wahid terkekeh juga akhirnya. Bagaimana pun ia marah pada wanita ini, tetap saja tidak bisa lama. Ada saja tingkah ajaibnya yang membuat Wahid luluh.

"Mandi bareng, mau?" Tanya Wahid jahil. Tapi tanpa ia duga, Jia malah mengangguk antusias.

"Kalau mau lebih dari mandi bareng juga boleh." Goda Jia terang-terangan.

Tentu saja Wahid tak ingin kehilangan kesempatan. Kalau diingat-ingat, mereka belum melakukan 'itu' di sana sekali pun. Sepanjang jalan menuju kamar, Wahid berpikir gaya apa yang cocok mereka terapkan nanti.

Malam pun tiba, sekitar pukul 07.50 WIB, Jia dan Wahid sudah berada di rumah tetangga mereka. Dan Jia pun baru mengetahui nama tetangga mereka itu. Yaitu Bapak Wahyu dan Bu Ayu. Mereka pasangan paruh baya dengan dua anak, laki-laki dan perempuan. Yang laki-laki adalah anak sulung, berusia sekitar 25 tahun dan anak perempuan mereka berusia sekitar 18 tahun. Hanya 1 tahun di bawah Jia.

Suasana cukup hangat dengan nuansa kekeluargaan yang kental. Keluarga Pak Wahyu ternyata sangat ramah. Hanya saja, sepanjang acara Jia merasa risih, karena keponakan Ibu Ayu yang sepantaran dengan Rohan, anak sulung beliau, suka curi-curi pandang.

Sebenarnya sih, cara natapnya biasa aja, lebih ke datar malahan. Tapi, suka diulang-ulang. Kalau Jia noleh ke arah lain, pasti ditatap lagi. Pas udah dipergoki, cowok itu yang malah salah tingkah. Ya sudah, karena tidak tahan lagi, Jia pelototi saja dia sekalian. Hah, nggak berani lagi kan.

"Dek Jia di mana rumahnya?" Tanya seorang wanita yang Jia taksir usianya lebih tua dari Bu Ayu. Kalau dilihat dari gelagatnya sih, memang bukan warga komplek sini. Bisa jadi beliau ini salah satu saudara Pak Wahyu atau Bu Ayu.

"Tuh, di sebelah situ. Deket banget, kok." Jawab Jia dengan nada sopan.

"Tinggal bareng siapa? Orang tuanya nggak diajak?"

"Saya tinggal bareng suami, Bu. Orang tua tinggalnya beda wilayah. Tapi masih di sekitaran Jakarta, kok."

"Loh, kamu udah nikah?" Tanya beliau tampak syok.

Lagi, satu lagi yang dibuat terkejut dengan status Jia.

"Alhamdulillah sudah, Bu. Baru aja. Sekitar 1 bulanan lebih." Jawab Jia lagi.

"Lah, pengantin baru toh ternyata. Ibu kira kamu masih single. Masih kuliah kan, katanya tadi? Memangnya umur dek Jia, berapa?"

"Masih 19 tahun, Bu." Jawab Jia jujur.

"MasyaAllah! Nikah muda, ya. Kalau boleh tau, suaminya adek umur berapa? Sepantaran atau gimana?"

Jia mulai merasakan adanya gelagat kurang baik dari ibu ini. Nanyanya nggak habis-habis. Kayak yang lagi wawancara sama peserta pelamar pekerjaan. Hadeh!

"Mbak Sofia, itu dipanggil Mas Bahri. Dicariin dari tadi, malah ngobrol di sini." Seru Bu Ayu, menginterupsi.

Sebelum Jia sempat menjawab, untungnya Bu Ayu datang tiba-tiba. Secara tidak sengaja, beliau membantu Jia untuk menghidar dari pertanyaan absurd dari Bu Sofia.

"Duh, maaf ya Mbak Jia. Mbak Sofia memang suka gitu. Suka kepo, sama orang yang baru dikenal. Mohon jangan dimasukkan ke hati, ya kalau kata-katanya nggak sesuai." Ucap beliau tak enak hati.

"Eh, nggak papa, Bu. Saya maklum, kok."

"Maaf ya Mbak, sekali lagi. Oh ya, Mbak Jia udah makan? Tadi di depan Mas Wahid udah makan, terus pamit sama Bapak dan Rohan, katanya pulang duluan. Mbak Jia nggak papa ditinggal sendirian?"

"Iya, Bu. Tadi sudah dikasih tahu pas sebelum ke sini. Mohon dimakulumi ya, Bu. Pekerjaan beliau memang cukup banyak. Apalagi sekarang menjabat sebagai dekan fakultas. Waktunya makin disibukkan dengan persoalan kampus."

"Wah, udah jadi dekan toh, Mbak. Ibu kira masih sebagai dosen pengajar biasa. Hebat loh, Masnya. Beruntung sekali, ya Mbak Jia dinikahi Pak Dekan."

"Hehe, Ibu bisa saja."

Tbc

Bapak dekan kok, lebih cocok jadi modelnya Calvin Klein, dari pada jadi dosen? Wkwkwkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bapak dekan kok, lebih cocok jadi modelnya Calvin Klein, dari pada jadi dosen? Wkwkwkwk

Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang