Assalamu'alaikum. Kangen nggak, sama autor?
Puk!
Kena timpuk readers
Sadar diri aja ya. Yg ditunggu readers tuh Jia sama Mas Wahid. Wkwkwk
Ya udah. Nggak usah banyak bacot, ya. Yuk, menyelam rame-rame.
Btw, itu judul panjang bet dah. 🤣
♤♤♤
"Masalah Ada Untuk Diselesain, Bukan Untuk Diawetin Pakai Formalin"
◇◇◇
"Maafkan Wahid, Ummi, Abati. Saya lalai menjaga putri kalian." Ucap Wahid lirih, setelah sang ayah mertua kembali dari prosedur mendonorkan darah pada putrinya, Jia.
Ya, tadi Wahid memang sempat mengabari kedua orang tua dan mertuanya bahwa Jia baru saja mengalami pendarahan. Dan dibawa ke rumah sakit. Untuk saat ini orang tua Wahid belum bisa datang karena mereka sedang ada di luar kota. Untuk sementara hanya ada Jihan dan Faqih, orang tua Jia.
Diagnosa dokter menyatakan bahwa kadar HB dalam darah istrinya kurang dari nilai normal. Sehingga perempuan itu membutuhkan donor sel darah merah dengan segera. Kebetulan setelah mendengar hal itu, Faqih langsung menawarkan diri untuk mendonorkan darahnya pada sang putri.
Dalam jiwa yang rapuh (kok lebay banget ya, perumpamaanku? Wkwkwkwk), Wahid berusaha menahan suara sesenggukan yang ingin keluar. Meski bulir air mata lebih dulu terjatuh, sebisa mungkin ia tak menunjukkan sisi lemahnya itu. Sesekali diusapnya air di ujung mata yang mulai kembali menggenang. Bohong jika ia mengaku tidak sedih. Yang dirasakannya saat ini lebih dari itu.
Mungkin benar, selama ini ia dikenal sebagai salah satu dosen berwajah papan tripleks dan pelit nilai. Bicara seperlunya saja. Tapi itu semua seakan hilang ketika menyangkut keluarga atau sahabatnya. Ia pun tak akan segan menunjukkan sisi rapuhnya walau hanya sedikit.
Baik Jihan maupun Faqih, hanya menghela nafas dengan pelan. Keduanya memang sepakat untuk tidak ingin ikut campur dalam permasalahan rumah tangga anak dan menantunya. Namun, dari sikap Wahid sejak awal mereka sampai di ruangan Jia, mereka paham bahwa masalah yang tengah keduanya hadapi cukup rumit.
"Sudah, jangan meminta maaf pada kami seperti ini. Meskipun kami tidak tahu permasalahan yang kalian hadapi, Abati dan Ummi akan berusaha memberi ruang untuk kalian menyelesaikannya sendiri, selama itu masih bisa. Kami juga tidak bisa mengintervensi pernikahan kalian. Sebab pernikahan ini kalian sendiri yang menjalaninya." Sanggah Faqih tenang.
Wahid mengangguk pelan. Hatinya benar-benar terharu, karena kedua mertuanya adalah orang-orang yang bijak. Kalau orang lain, jika mendapati putri mereka terluka meski tak sengaja, mereka bisanya hanya menyalahkan sang menantu. Meski pun menantu mereka itu tidak bersalah. Apa lagi kalau yang benar-benar bersalah.
"Sebaiknya kamu pulang saja ke rumah. Mandi, ganti baju, makan malam, sholat, lalu istirahat. Ummi dan Abati yang akan menjaga istrimu di sini."
"Tapi, Ummi..."
"Dengarkan Ummi Nak, nanti ketika Jia bangun setidaknya dia mendapati suaminya tidak dalam keadaan tak terurus. Ummi tahu betul sifat anak itu. Semarah apa pun dia pada seseorang, dia akan tetap peduli. Bahkan lebih khawatir dari siapapun. Apa lagi kalau dia sadar bahwa itu demi dirinya. Jadi, sebaiknya kamu pulang. Lalu kembali lah kemari, besok setelah keadaanmu sudah lebih segar."
"Baik Ummi. Wahid titip istri Wahid. Maaf atas keteledoran Wahid dan terima kasih karena mau menjaga Jia, sementara Wahid di rumah. Kalau begitu Wahid permisi pulang. Assalamu'alaikum."
"Iya, sama-sama. Jangan sungkan. Kami juga adalah orang tuamu. Wa'alaikumussalam." Balas Jihan lembut. Begitu juga Faqih.
Setelah Wahid benar-benar pergi, tiba-tiba saja Jia membuka kedua kelopak matanya. Lalu memanggil ibunya dengan lirih.
"Ummi..."
"Jia, kamu sudah bangun, Nak?" Tanya Jihan sambil mengusap kening sang putri.
"Udah, dari tadi." Jawab Jia santai.
"Loh, jadi tadi...."
"Hmmm. Aku denger semua obrolan kalian. Makasih Ummi, udah minta Mas untuk pulang. Kalau Mas nggak pulang, mungkin aku nggak akan bangun-bangun." Balas Jia lagi, lalu terkekeh serak.
Jihan dan Faqih pun menggeleng tak menyangka. Heran saja melihat tingkah sang putri yang kelewat polos. Sudah tahu baru saja dia mengalami kejadian menegangkan, dia malah masih sempat-sempatnya ngajak becanda.
"Jia mau minum? Biar Abati yang ambilkan." Tawar Faqih.
"Na'am. Jia haus, Abati." Jawab Jia manja.
"Gimana perasaan kamu sekarang? Sudah lebih baik?" Tanya Jihan, sembari menunggu suaminya mengambilkan air minum dalam dispenser yang berada di salah satu pojokan kamar Jia.
"Ndak papa, Ummi. Aku baik-baik aja. Alhamdulillah, Allah masih kasian sama Jia. Bayi Jia nggak kenapa-kenapa, itu udah bikin hati lega." Jia tersenyum sambil meraih gelas air putih yang disodorkan sang ayah.
Jihan tampak menghembus nafasnya lega. Wanita berusia hampir kepala lima itu sempat tegang. Khawatir saja, putri semata wayangnya ini tiba-tiba meledak. Menyemburkan amarahnya yang mungkin sejak tadi dipendamnya.
"Gini ya, Sayang. Ummi kasih kamu pesan. Bahkan sudah sering Ummi singgung juga ketika sebelum kamu menikah. Apa pun permasalahan dalam rumah tangga, itu wajar sebagai bahan untuk menguji iman di hati manusia. Seberat apa pun, jangan mudah kalah, dan lebih memenangkan ego sendiri. Bercermin, itu lebih utama. Ah, apakah aku sudah lebih baik dari dia? Atau apakah aku pantas berlaku sombong? Karena tidak mau melembutkan hati dan malah menajamkan lidah dengan melontarkan kata-kata kasar. Demi Allah, Nak. Sebesar apapun rasa kecewa kita pada suami, kita tetap wajib menghormatinya."
"Siap, Ummi. Jia paham kok. Makanya tadi aku nggak langsung marahin Mas. Lagian aku kan, baru aja bangun. Masih lemes." Jawab Jia cengengesan.
Dan mungkin ada yang bertanya mengapa Jia tak berusaha mengadu dan bercerita pada kedua orang tuanya mengenai permasalahan rumah tangganya dengan Wahid, itu dilakukannya untuk menjaga aib pria tersebut. Tentu Jia sadar, itulah salah satu kewajibannya.
Jia berencana akan menyelesaikan permasalahan mereka secepat mungkin. Tapi tidak dalam keadaan dirinya yang sedang dirawat di dalam kamar rumah sakit. Nanti, ketika dirinya sudah diperbolehkan pulang.
Tbc....
Self reminder, self seminder, self reminder. Harus kek Jia kalau udah nikah, ya. Jangan suka ngadu sana sini. Jelek-jelekin suami di depan orang. Jangankan orang luar. Sama orang tua sendiri aja nggak boleh.
Hanya dalam situasi tertentu aja bolehnya. Misalnya untuk mencari solusi, ketika permasalahan sudah sangat sulit untuk diselesaikan. Agar untuk diperhatikan juga, orang yang kita ajak diskusi. Apakah orang tersebut seseorang yang tepat atau malah udah kayak ember bocor? Yang pasti, kitanya yang bijak dalam mengambil satu keputusan.
See you all, at the next part.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istrinya Guru Besar (Telah Terbit)
Chick-LitPenerbitan secara offline. Nggak ada di playstore atau platform lainnya. Cerita sudah tidak utuh. Beberapa bagian telah dihapus demi kepentingan penerbitan. ~~~~~ Menikah di usia muda memang tidak terpikirkan olehnya. Jia menjadi seorang istri dari...