Rhea sedikit lega, karena Kenzo menurut untuk sedikit menjauh dari gadis di depan Rhea. Setelah kekesalannya terhenti, ia berhenti dengan deru napas tak karuan. Wajar saja karena ia sehabis keliling lapangan tiga kali.
“Coba anak laki-laki ambil matras, hari ini materi kita roll depan, belakang dan kayang.” ujar Pak Ridwan setelah memastikan semua muridnya telah berkumpul kembali.
“Anjay, gue benci nih yang begini.” celetuk Rhea kesal. Ia memang benci materi ini, karena tidak bisa melakukannya. Sejak SMP, dirinya selalu remidi. Harusnya, hasil remidi lebih memuaskan. Namun tidak dengan Rhea, hasil nilai gadis itu tetap sama. Semua murid dipersilahkan untuk menunggu matras sambil duduk di mana saja yang mereka inginkan.
Tertangkap oleh matanya, Kenzo sedang tertawa kecil bersama gadis yang sejak tadi berbicara dengannya. Tentu saja ia sangat kesal, ketika bersamanya Kenzo tidak pernah tersenyum. Lalu, siapa gadis itu hingga membuat Kenzo tersenyum? Rhea berjalan ke tepi lapangan, ia duduk di kursi yang terbuat dari semen terlapis keramik.
Mata elang Rhea mulai terpasang. Diambilnya sepatu sebelah kanan, lalu melempar dengan sekuat tenaganya ke arah Kenzo.
Senyum cerah terbit di wajah Rhea, sasarannya tepat mengenai kepala Kenzo. Pria itu memegang kepala bekas hantaman Rhea, lalu menoleh ke sang pelaku. “AMBILIN SEPATU GUE!” teriak Rhea lantang.
Tatapan datar ditujukan untuk Rhea dari Kenzo, “Ambil sendiri.” ujarnya dingin. Rhea kesal bukan main, niatnya agar Kenzo berhenti bicara dengan gadis itu justru membuatnya malu pada diri sendiri karena sudah ditolak.
Wah, sepertinya Kenzo hanya bersikap dingin jika bersama Rhea saja. Ia tidak mau ambil pusing, segera melepaskan sepatu kirinya. Bukan untuk dilemparkan ke Kenzo lagi, namun ia berniat Olahraga dengan tidak memakai sepatu. Karena nanti hanya diatas matras saja. Berusaha sekeras mungkin agar tidak melihat Kenzo bersama gadis itu, Rhea menyenderkan tubuh rampingnya, lalu mengambil benda pipih yang berada di dalam tas.
Salah satu murid memang sengaja membawa tas untuk tempat ponsel bersama, agar tidak tertinggal di kelas kemudiam hilang.
“Kenapa buka ini, buka itu, sepi semua, sih? Gini amat jadi jomblo, padahal baru beberapa jam.” Rhea memaki dirinya sendiri.
Menunggu matras datang memanglah sangat membosankan, letak gudang peralatan Olahraga dengan lapangan memang cukup jauh. Ia merutuki Mitha, gadis setengah tomboy itu malah ikut mengambil matras. “Lama banget. Udah panas, eh malah liat si Kampret sama cewek lain. Tambah panas, deh,” gumam Rhea. Mulutnya terus bergerak tanpa jeda, entah apa saja yang ia katakan, hanya Rhea dan Tuhan yang tau.
“Sinting.”
Suara serak seseorang mengganggu otak Rhea. Melihat wajah yang berdiri di depannya, rasa ingin menonjok dan menghajar sangat kuat di dalam pikirannya. “Ngapain lo?” tanya Rhea sewot.
“Katanya suruh ambilin,” Kenzo menunjukkan tangan kanannya sedang memegang sepatu pink milik Rhea.
Sudah terlanjur kesal, Rhea tidak ingin berbicata dengan Kenzo untuk saat ini. “Taruh aja.” Ia menunjuk sepatunya yang sudah ia lepas agar Kenzo menaruh sepatu lainnya di sana juga.
“Pakai.” perintah Kenzo singkat.
“Males, nanti aja kalau udah selesai Olahraganya. Lagian nanti naik ke matras juga bakalan dilepas,”
Kenzo berdecak kesal, “Dilepasnya nanti pas mau naik ke matras.”
“Kenapa sih bangsat maksa mulu?!” damprat Rhea kesal. Sudah dibilang sebelumnya, bahwa Rhea sedang malas berbicara dengan Kenzo. Apalagi, pria berwajah menyebalkan itu terus memaksanya untuk memakai sepatu.
Pria itu memutar bola matanya jengah. “Nanti kaki lo panas, Rhea.” ujar Kenzo lembut.
Sialan! Mengapa hanya dengan satu kalimat saja bisa memerahkan pipi Rhea? Jangam bilang, kalau gadis itu sedang baper. Perhatian kecil dari Kenzo, dan nada suara yang biasanya dingin kini berubah menjadi hangat. Ah, karena kepanasan kali, sikapnya juga kena, makanya hangat.
Berusaha meredam dan menyembunyikan pipi merahnya, Rhea memutus kontak mata dengan Kenzo. Di bawah sana, kaki putih gadis itu bergerak tak beraturan, keringat dingin mulai membanjiri pelipisnya. “Gue terlanjur males pakai.”
Memaksa Rhea adalah hal yang sia-sia dan tidak akan berguna. Kenzo baru menyadari fakta tersebut setelah mencobanya sendiri. Pria itu mulai membungkukkan badan, lalu berjongkok tepat di depan Rhea. Kelakuan Kenzo benar-benar berhasil membuat Rhea diam mematung, tidak berani bergerak.
Sialan, mau ngapain nih Bagong? Jangan-jangan, mau nembak gue?! Pikir Rhea dalam hati. Ia memukul kepalanya sendiri, karena telah memikirkan hal yang mustahil.
Memang sesuai dugaan Rhea bahwa hal itu mustahil, Kenzo hanya memasangkan sepatu Rhea. Namun, entah mengapa jantung Rhea berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Bahkan, Kenzo meletakkan kedua kaki Rhea di atas pahanya, tidak peduli dengan celana abu-abu yang akan kotor setelah ini. Setelah selesai memakaikan sepatu, pria itu tidak segera bangkit daru jongkoknya.
“Cepet berdiri!”
Seruan Rhea tidak dihiraukan oleh Kenzo. Jima Rhea bisa keras kepala, mengapa Kenzo tidak? Ia justru meletakkan kedua tangannya di atas paha Rhea, lalu melipatnya. Ditaruhnya dagu di atas tangan, lalu menatap manik mata Rhea lebih dalam.
Gadis itu tampak gelagapan dan kebingungan sendiri. Sekarang, Rhea benar-benar salah tingkah. “A-apa, sih?” tanya Rhea pelan. “Cepetan berdiri dan pergi dari sini. Nggak usah kagum gitu liat gue, gue sadar emang cantik.” Rhea sengaja memuji dirinya sendiri agar Kenzo mau merespon, minimal kedipin mata lah, sat! Pria itu menatap Rhea tanpa berkedip.
Kenzo semakin meresahkan degup jantung Rhea. Kini, tangan Kenzo beralih menggenggam erat kedua tangan Rhea. Mengelus punggung tangan Rhea lembut.
“Anying, lah. Biar gue yang pergi aja kalau gitu,” putus Rhea karena merasa tidak dihiraukan oleh Kenzo.
“Tunggu sebentar.”
“Apa?!” tanya Rhea sewot.
“Cantik.” Kenzo mencubit pipi Rhea gemas. Kemudian ia berdiri dari posisi berjongkok di hadapan Rhea. Tangannya terulur untuk membersihkan celananya yang kotor bekas sepatu Rhea.
Setelah menurutnya bersih, pria itu kembali menatap Rhea dengan posisi yang sudah berdiri. Senyumnya merekah lebar, kali ini tampak tulus di mata Rhea. Gadis itu sempat kagum karena ketampanan Kenzo memang benar-benar bertambah jika sudah begini.
“Gue pergi. Nggak perlu ngambek sampai lempar-lempar sepatu. Semangat!”
Sebelum benar-benar meninggalkan Rhea, Kenzo sempat mengacak rambut gadis itu gemas. Pria itu melambaikan tangannya.
Rhea benar-benar tidak menjawab apa-apa, badan serta mulutnya terasa kaku karena perlakuan kecil Kenzo. Memang sangat sederhana, namun mampu membuat Rhea terpesona.
“Woi! Di panggil berkali-kali kaga nyaut, taunya bengong di sini. Noh, matrasnya udah dateng,” tukas Mitha. “Lo kenapa, sih, bekicot?!” Mitha meninggikan suara agar terdeteksi di otak kosong Rhea.
Rhea tersentak kaget, ia mengedipkan matanya berulang kali. “Tampar gue, Mit. Tampar!”
Plak!
***
Tuh, cepet kan updatenya😏
Ayo, tinggalin jejak biar lebih semangat up nya!
Follow aku juga di Wattpad, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
RHEA [Completed]
Teen Fiction[Belum direvisi] Rhea harus sabar menghadapi sikap Kenzo yang datar, dingin dan kaku. Sementara Kenzo dalam diamnya, ia merutuki tingkah gadis yang dipercayakan serta dititipkan di rumahnya itu. Gadis yang awalnya pemalas mendadak rajin karena harus...