Hari Minggu, adalah hari untuk beristirahat dari segala aktivitas di sekolah bagi pelajar. Bukan opini lagi, bahwa mereka sangat menunggu hari itu dalam setiap pekannya.
Rhea keluar dari taksi yang berhenti di pinggir jalan. Tangannya terulur mengusap pelipis yang sudah dibasahi oleh keringat sejak tadi.
Dengan sangat keras, Rhea berusaha kabur dari Kenzo. Sejak menjadi kekasihnya beberapa hari yang lalu, pria itu mengikuti kemanapun Rhea pergi. Bukan risih, tetapi Rhea hanya ingin keluar bersama kedua temannya, Alya dan Mitha.
“Udah lama kalian di sini?” tanya Rhea saat sudah berada pada salah satu angkringan pinggir jalan.
Mereka sengaja memilih tempat sederhana itu, karena sudah bosan dengan suasana kafe, restoran dan sejenisnya, "Suasana yang kayak gini, nih, gue suka." ucap Rhea menelusuri sekelilingnya yang ramai.
“Tumben, cowok lo nggak ngikutin,” kekeh Alya.
Setelah resmi menjadi kekasih Kenzo, keesokan harinya Rhea menceritakan semua kepada Alya dan Mitha. Mulai dari alasan mereka bolos, hingga Kenzo menembaknya di depan toilet. Sebagai teman, Alya dan Mitha justru tertawa keras. Mereka mengatakan bahwa, Kenzo adalah cowok langka yang harus dilestarikan.
“Gue kabur,” jawab Rhea tenang, “Kali ini gue berhasil kabur, soalnya dia gue kasih obat tidur,” lanjut Rhea yang berhasil membuat kedua temannya melongo.
“Anjir, sialan lo, Rhe. Pasti dia tersiksa pacaran sama lo.”
“Kata siapa dia tersiksa? Yang ada gue kali, tiap hari dicuekin. Gue chat aja masa nggak dibalas, sih! Kurang sabar gimana gue?”
Mitha menepuk keningnya sendiri, tangannya sangat memiliki keinginan untuk menampar Rhea sekarang juga, “Lo kesetanan apa, sih? Lo satu rumah sama Kenzo, ngapain pake chattingan?”
Meringis untuk kesekian kalinya, Rhea mengakui kebodohannya. Padahal, jika merasa rindu dengan kekasihnya, ia hanya tinggal melangkahkan kaki beberapa meter saja. Akan tetapi, kadang ia merasa kesepian saat ponselnya tidak ada nontifikasi apapun. Maka dari itu, ia mengirimkan pesan kepada Kenzo, lalu berakhir tidak dibalas.
“Ya gue kesepian di kamar,” ujar Rhea mencari pembelaan.
“Kalau gitu, tidur sama Kenzo.” ujar Mitha, ia merasa memberikan solusi yang tepat.
Alih-alih dibanggakan oleh kedua temannya, Mitha justru mendapat tepukan pada punggungnya, “Najis! Nanti kalau dia mesum gimana?” teriak Rhea membuat seluruh pengunjung akringan menoleh kepadanya. “Dosa, bego!”
Sebagai sahabat yang baik, Alya menepuk pundak Rhea pelan, “Sabar, lo kek nggak tau si Mitha aja. Selain mesum, dia go plus block.”
“Mesum matamu!” Mitha mengambil satu tusuk lauk yang ditata rapi di meja angkringan, lalu menyumpalkannya ke dalam mulut Alya secara paksa. “Makan tuh telur puyuh!” ketusnya sembari tersenyum menang.
Mulut Alya terpenuhi oleh telur puyuh yang masih menancap di tusuk tersebut, tangannya perlahan membuang tusuknya, “Bang...bangsat lo, Mit. Tapi, enak juga. Gue mau lagi, dong!” Alya justru bersemangat setelah menelan semua yang masuk ke dalam mulutnya sampai habis.
“Lo doyan atau lapar?”
“Semuanya.” jawab Alya pelan. Gadis itu memandang ke arah jalanan yang ramai. Matanya memincing sejenak, “Cantik, sih, tapi gila...” ujarnya saat melihat seorang gadis dengan rambut berantakan, memakai tanktop berwarna hitam, serta celana kulot panjang.
Sontak, Rhea dan Mitha menoleh ke arah yang Alya tuju.
Mata Rhea menajam sesaat, lalu langsung bisa mengenali gadis yang berjalan dengan langkah terseok itu. “Dia gak gila!” ujar Rhea tak terima. Entah mengapa, mulutnya mengucapkan pembelaan untuk gadis itu walaupun secara tidak sengaja.
“Emang kenapa? Rambutnya berantakan, cuma stress kali dia, ya?”
“Dia gak stress!” Gadis itu menatap tajam kedua temannya secara bergantian, “Harus gue bilang berapa kali kalau dia waras?”
Alya dan Mitha saling menatap. Pastinya, mereka heran dengan sikap Rhea yang kekeh bahwa gadis itu tidak sedang dalam gangguan jiwa. “Kenal lo?” tanya mereka secara bersamaan.
Tanpa disadari, Rhea berjalan ke arah gadis yang langkahnya terseok itu. Manik matanya menatap gadis itu sendu, seolah turut sedih dalam emosi gadis itu. Rhea berhenti tepat di depannya. Dengan terpaksa, gadis yang berpenampilan berantakan itu berhenti, lalu menatap Rhea dengan wajah datar.
Setelah mengetahui bahwa gadis yang menghadangnya adalah Rhea, perubahan ekspresi pada wajahnya sangat terlihat. Matanya yang tadi merah, kini tergenang air mata. “Rhea...lo d-di sini?”
Gadis berambut sebahu itu memutar bola matanya malas, “Menurut lo?” Rhea mendekati gadis berantakan itu. “Kenapa lo bisa kayak gini?”
Badan Rhea sudah tak tertahankan, ia menubruk gadis di depannya itu. Kedua tangannya memeluk erat badan gadis berantakan itu. “Gue tanya sekali lagi sama lo, Cindy. Kenapa lo bisa kayak gini?”
Cindy, gadis yang dulu menjadi sahabatnya Rhea itu melepas pelukan Rhea, tanpa membalasnya terlebih dahulu, “Lo nggak perlu tanya gue..” ujarnya sembaru menghapus jejak air matanya.
Rhea memandang Cindy dengan tatapan sendu. Pengkhianatan Cindy dulu, ia tepis sementara dari pikirannya. Yang terpenting bagi Rhea saat ini adalah keadaan Cindy yang sedang tidak baik-baik saja. “Kenapa? Lo sahabat gue sejak kecil. Jadi, gue perlu bertanya keadaan lo!”
Meskipun hatinya nyeri, keegoisan Rhea harus ia tepis. Entah itu hanya sejenak, atau selamanya. Rhea paling tidak tega saat melihat orang yang disayanginya sedang susah, sedih, atau tertimpa masalah. Rhea berharap, bisa membantu mereka sesuai kemampuan yang ia miliki.
“Gue bukan sahabat lo lagi...” ujar Cindy, mulutnya bergemetar hebat, “Gue nggak pantes temenan sama lo.”
“Lo boleh bilang gitu. Tapi, gue tetap anggap lo sahabat.” Rhea meremas celana panjangnya hingga membentuk lipatan, “Sekarang, cerita!”
“Gu-gue...nggak pantas temenan sama siapapun. Gu-gue...udah rusak.”
Rhea mengernyitkan dahi, berusaha mencerna maksud dari perkataan Cindy. Setelah dirasa mengerti, jantung Rhea berdetak kencang. “Siapa yang berani ngelakuin ini ke lo?”
Gadis berambut panjang lurus itu sama sekali tak berani menatap Rhea, tangannya menggenggam erat, “Lo...mungkin udah tau pelakunya,” ujar Cindy pelan.
“Rehan?” tanya Rhea ragu. Setelah pertanyaan yang menyebutkan mantan kekasihnya, Rhea merasa bahwa dugaannya benar. Terlihat dari gerak-gerik Cindy, gadis itu tidak tenang. Badannya yang bergetar sungguh bisa dirasakan oleh Rhea. “Ceritain! Gimana bisa dia ngerusak lo, ha?!” bentak Rhea kasar.
Cindy terpelonjak mendengar bentakan Rhea, mulutnya sangat berat untuk bercerita kepada orang lain.
Sementara Alya dan Mitha, segera menghampiri kedua gadis di pinggir jalan itu saat melihat amarah pada raut wajah Rhea. Mitha menepuk pundak Rhea, berusaha menenangkan sahabatnya, begitu juga dengan Alya melakukan hal yang sama.
“Cindy! Tatap gue! Lo cinta banget sama Rehan, iya?! Sampai lo bisa bego gini!”
“Jangan ikut campur. Lo nggak tau apa-apa tentang masalah ini!” ketus Cindy tanpa berani menatap Rhea, “Gue udah ngehianatin lo. Jadi, nggak usah sok peduli,”
“Di sini gue yang dikhianati! Lo nggak usah ngatur gue harus gimana, gue yang paling tau apa yang harus gue lakukan!” Napas Rhea sudah kembang kempis. Tatapannya tertuju tajam pada Cindy yang menatap lurus depan, “Gue yakin, lo ngelakuin ini ada alasannya. Sekarang, kasih tau gue.” tukas Rhea dengan menekankan setiap kata.
“Gue bilang nggak usah sok peduli! Harus berapa kali gue bilang gini?”
“Sayangnya, gue nggak peduli sama lo, Cindy. Gue cuma peduli sama persahabatan dan atas dasar kemanusiaan,” ujar Rhea, hal yang baru saja ia katakan tidak sepenuhnya benar.
***
Siapa yang kangen sama Kenzo?
Dapat salam dari Babang Kenzo😭✋Jangan lupa tinggalin jejak, ya!!
KAMU SEDANG MEMBACA
RHEA [Completed]
Teen Fiction[Belum direvisi] Rhea harus sabar menghadapi sikap Kenzo yang datar, dingin dan kaku. Sementara Kenzo dalam diamnya, ia merutuki tingkah gadis yang dipercayakan serta dititipkan di rumahnya itu. Gadis yang awalnya pemalas mendadak rajin karena harus...