Malam ini, dinginnya begitu menusuk hingga ke tulang. Hujan deras membawa suara gemericik air yang dapat menenangkan.
Kadangkala, hujan membawa kenangan indah. Namun nyatanya, tidak bagi gadis itu. Kenangan-kenangan akan bersama orang terkasihnya kembali memasuki otak.
Dingin, bahkan tak mempengaruhinya. Badannya justru penuh akan keringat yang membasahi baju dan rambutnya. “Sialan! Untung cuma mimpi,” Rhea menepuk keningnya pelan, setelah terpelonjak kaget beberapa saat yang lalu karena terkejut oleh mimpinya sendiri.
Tertawa kecil, Rhea mengelus dada. Berusaha menetralkan degup jantungnya yang semakin tak karuan. “Mimpi terburuk gue setelah kematian Mama,” lirih Rhea lagi. “Kenzo pasti masih tidur,”
Bangkit dari tidurnya, Rhea berjalan mengendap agar tidak mengganggu siapa pun. Untungnya, kamar Rhea berada di depan kamar Kenzo. Ia tidak akan terlalu jauh untk berjalan, mengingat rumah ini sangat besar.
Knop pintu kamar Kenzo perlahan terbuka, memperlihatkan sosok pria jangkung yang sedang terbaring di selimutnya sendiri.
Mengusap dada dengan penuh kelegaan, Rhea menghampiri kekasihnya, membangunkan Kenzo tanpa peduli dengan apapun.
Mimpinya begitu panjang, hingga membuat kerinduan serta ketakutan membuncah di hatinya.
“Bangunn!!! Jangan tidur terus, aku takut!” lirihnya agar tak terdengar oleh Aldi dan Lyra. “Kenzo, bangun! Aku kangen!”
Kenzo merasakan guncangan kencang di badannya, lalu bangkit dari posisi tidur yang saat ini tidak nyaman lagi. “Kenapa tiba-tiba?”
“Mimpi buruk,” jawab Rhea lesu.
Pria jangkung itu menyunggingkan sudut bibirnya, lalu meraih tangan Rhea agar duduk di kasurnya juga. “Jadi, kangen atau mimpi buruk?” tanya Kenzo, sembari mencium punggung tangan Rhea.
“Semua. Tapi bedanya, mimpi buruk itu jarang, tapi kangen kamu setiap detik.”
Kenzo menutup mulut dengan kedua tangannya sendiri, tawanya hampir pecah kala mendengar Rhea yang berusaha menggodanya. “Kamu mau gombal? Untung kamu pacarku, kalau bukan udah ku buang ke pohon kelapa,” ujarnya.
“Tau nggak, sih, kalau aku mimpi kehilangan kamu?”
“Emang aku ngapain?”
“Meninggal.”
“Emang kenapa? Semua orang juga bakal meninggal. Pasti ada, kok, waktu takdir seperti itu. Entah kita terpisah karena kematian, atau alasan lain.”
“Aku takut,” lirih Rhea, menggigit bibir bawahnya, seperti kebiasannya saat ketakutan.
“Kamu takut? Mau tidur berdua di sini, iya?” Kenzo menaik-turunkan alisnya---berniat menggoda Rhea agar tidak terlalu tegang.
Dengan sekuat tenaga, Rhea memukul punggung Kenzo tanpa ampun. “Emang gue cewek apaan?!” tukasnya kesal. Sebenarnya, pipi Rhea sudah bersemu merah, nada bicara Kenzo begitu mampu membuat jantunya berdegup sangat kencang.
“Iya, iya, maaf. Cuma bercanda.” Kenzo menangkap tangan Rhea agar berhenti memukul punggungnya, kemudian memeluk Rhea dengan perasaan yang menghangat.
Membalas pelukan Kenzo, Rhea tersenyum kecil. “Udah tau. Itu cuma balasan karena udah berani godain aku!”
Tanpa disadari, dua pasang mata memperhatikan mereka berdua. “Hayo! Kalian ngapain berduaan malam-malam? Ketahuan, 'kan? Besok harus nikah!”
“Bunda dan Ayah jangan ganggu, bisa? Iya tenang aja besok bangun tidur Kenzo nikah,” jawab Kenzo setelah melepas pelukannya karema terpergok. “Kalo gak kesiangan,”
***
Happy ending, lah, masa enggak! Karena aku gak suka sad ending.
MENURUT KALIAN, GIMANA CERITA INI? DAPAT FEEL-NYA NGGAK?
Maaf udah nunggu lama. Semoga puas dengan ceritanya ^^
See you~
KAMU SEDANG MEMBACA
RHEA [Completed]
Teen Fiction[Belum direvisi] Rhea harus sabar menghadapi sikap Kenzo yang datar, dingin dan kaku. Sementara Kenzo dalam diamnya, ia merutuki tingkah gadis yang dipercayakan serta dititipkan di rumahnya itu. Gadis yang awalnya pemalas mendadak rajin karena harus...