HALLOOW! AKU CUMA MAU PENGEN NGASIH TAU, BACA AUTHOR NOTE DI AKHIR CERITA, YA!😽
•••
Jlebb!
Tusukkan pisau terdengar lirih di telinga keempat orang yang berada di dalam sana. Beni tidak tahu, mengarahkan pisau tajamnya kepada siapa. Tangan kanan yang memegang pisau itu sudah berlumuran darah segar.
Rhea yang tersungkur ke lantai, merasa percikan darah mengenai seragam putihnya. Badannya mendadak lemas saat mengetahui dari mana asal darah itu mengucur di bajunya. Dadanya terasa sesak, napasnya terhenti beberapa saat.
Ia tidak merasakan terkena tusukan. Akan tetapi, badannya terasa tertusuk oleh ribuan pisau. Bagaimana tidak, tepat di depan matanya sendiri, Beni telah menusuk Kenzo dengan dalam. Hingga terlihat gagang pisaunya saja.
"Njir, kena!" seru Beni sembari tertawa keras.
Jika seseorang telah mencelakai orang lain akan kabur, namun tidak dengan Beni. Cowok itu justru tertawa sembari bertepuk tangan.
Bruk!
Badan jangkung Kenzo terjatuh ke lantai dengan tak berdaya.
"Ke-Kenzo..." Rhea segera memangku kepala kekasihnya.
Tangannya yang bergemetar menyentuh gagang pisau tersebut. Mengumpulkan keberaniannya, Rhea perlahan mencabut pisau dari perut Kenzo. "Aku...aku akan telpon ambulan. K-kamu tahan dulu bentar, ya?" Tangannya yang penuh darah mengambil benda pipih di dalam tasnya.
"Cindy! Lo telpon ambukan pake HP gue!" teriak Rhea sembari melemparkan ponselnya dengan asal ke arah Cindy. Tak peduli jika ponselnya rusak, yang terpenting adalah nyawa Kenzo sekarang.
Gadis bernama Cindy itu hanya melongo. Bahkan, Rhea lupa bahwa Cindy sedang dalam pengaruh alkohol. "Goblok lo, anjing! Malah cengengesan. Lo pikir lucu?! Lo udah keracunan sama si Beni, iya?!"
"Gue bilang juga apa, jangan pernah bantu gue lagi." Tanpa sengaja, Cindy menginjak ponsel Rhea, "Gue juga udah bilang jangan berurusan sama dia," lanjutnya sembari menunjuk ke arah Beni.
Andai saja tangan Rhea ada tiga, pasti ia bisa menelepon ambulan atau meminta bantuan. Namun apa daya, kedua tangannya ia gunakan untuk menutup bekas tusukan di perut Kenzo yang terus menerus mengeluarkan darah segar.
"K-KENZO! JANGAN TUTUP MATA! BUKA TERUS, SAMPAI ADA BANTUAN!!" teriak gadis itu. Air matanya menetes di wajah tanpan Kenzo yang kini tampak pucat.
Samar-samar, Rhea melirik ponselnya yang sudah terinjak oleh Cindy. "Aku...aku cari bantuan ke luar dulu, ya? Kamu di sini aja..."
Meskipun sudah mengatakan hal itu, Rhea masih terisak dalam tangisnya dan masih dalam keadaan memangku kepala Kenzo. "Kalo aku tinggalin k-kamu...si-siapa yang pegangin ini?" Ia melihat perut Kenzo yang masih mengeluarkan darah.
Bibirnya bergemetar. Pendarahan yang dialami Kenzo bisa membahayakam nyawanya jika saja ia benar-benar kehabisan darah.
Tak kehabisan akal, Rhea menatap seragamnya sendiri, "Pi...pisau! Mana pisaunya?!" cercahnya sembari mencari pisau yang tadi ia buang.
Dengan setengah kesadarannya, Cindy menyodorkan pisau penuh darah itu ke arah Rhea.
Rhea segera mengambil pisau itu, lalu mengeluarkan seragam yang ia masukkan ke rok. "Ken...ka...kamu tunggu sebentar. Aku...aku mau potong seragam aku buat nutupin itu. Tahan, ya..." ujarnya terbata-bata.
Melepaskan tangan kirinya dari perut Kenzo, Rhea bersiap akan memotong kain seragamnya bagian bawah. Tidak masalah jika menyisakan hingga terlihat pusar, Rhea tidak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
RHEA [Completed]
Novela Juvenil[Belum direvisi] Rhea harus sabar menghadapi sikap Kenzo yang datar, dingin dan kaku. Sementara Kenzo dalam diamnya, ia merutuki tingkah gadis yang dipercayakan serta dititipkan di rumahnya itu. Gadis yang awalnya pemalas mendadak rajin karena harus...