“Rhea, tolong. Gue mohon...”
Kata-kata itu terus berputar di kepala Rhea. Setelah mendapat telepon dan mendengar kata-kata itu, Rhea segera memutus sambungan telepon secara sepihak. Ia takut, jika pertahanannya runtuh. Mendengar suara Cindy yang lemah, Rhea takut jika iti hanyalah sebuah jebakan yang disusun bersama Rehan.
Rhea sudah mengusir Kenzo beberapa menit yang lalu secara paksa. Mau tak mau Kenzo akhirnya pergi dari sana.
Gadis berambut sebahu berwarna kecoklatan itu memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Nama Cindy terus bermunculan di otak kecilnya.
“Bangsat! Si Cindy emang jagonya pakai pelet! Bisa-bisanya gue masih khawatir sama dia,”
Haruskah Rhea mengabaikan kesalahan Cindy dan bergegas menolongnya? Tapi, bagaimana jika itu hanya jebakan semata? Rhea tidak ingin masuk ke dalam jurang untuk kedua kalinya. Untuk melakukan sesuatu yang berengaruh dalam hidupnya, saat ini Rhea lebih selektif.
Gadis itu berjalan menuju pintu utama untuk keluar mencari udara segar. Ia ingin pikirannya tenang sejenak. Tangannya memutar knop pintu hingga benda persegi panjang itu terbuka. Melihat seorang anak kecil di depannya, Rhea mengernyitkan dahi. Sepertinya, ia pernah melihat gadis kecil ini.
“Hai, Kak. Apa kabar?” sapa gadis itu.
“Kakak baik. Kamu...Bel-Bella?” tanya Rhea ragu. Lalu menatap sepasang suami-istri yang masih muda di belakang gadis itu.
Anggukan antusias terlihat di kepala Bella. “Iya, Kak! Aku Bella.”
Kening Rhea mengkerut hingga membentuk beberapa lipatan, “Kamu...kamu masih hidup?”
“Apa maksud kamu bilang kayak gitu? Anak kita sudah meninggal, gitu?” sinis wanita sambil menenteng tas selempang di pundak kanannya.
Rhea merasa bersalah. Maksudnya bukan seperti itu, hanya merasa aneh. Dulu, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri saat Bella muncul di hadapannya dengan wujud sebagai arwah. Ia sangat yakin, saat itu hanya dirinya yang bisa melihat Bella, karena juga sudah pernah bertanya kepada orang lain tentang keberadaan Bella.
“Bu-bukan gitu maksud saya,” jawab Rhea gelagapan. Tangannya terangkat mengusap kening. Kepalanya semakin pusing.
“Saya Arwan, orang tua Bella. Anak saya koma selama lima bulan.” jelas pria yang diduga adalah Ayah dari Bella. Pria yang sudah berkepala tiga itu paham dengan gerak-gerik Rhea yang sedang kebingungan. “Kami dulu tinggal di Apartmen ini. Sejak Bella koma, kami pindah ke kontrakan yang dekat rumah sakit. Kami hanya sewa Apartemen ini.” lanjut pria itu.
Penjelasan Arwan sangat memutar balik otak Rhea, berpikir keras. “Ketemu arwah orang yang lagi koma? Berasa kek di dunia Fantasi njir,” gumamnya dalam hati.
“Maaf...saya gak tau,” ujar Rhea canggung.
“Kakak, boleh nggak kalau Bella tinggal di sini lagi? Bella mohon, cuma disini yang buat Bella bahagia...” Gadis kecil itu menunjukkan puppy eyes-nya yang alami.
Marina--Ibu Bella memegang kedua tangannya. “Iya, tolong turuti Bella. Beberapa bulan ini dia cuma bisa berbarinh di Rumah Sakit,” Marina mendekatkan mulutnya ke telinga Rhea. “Bella sedang sakit. Kata Dokter, hidupnya nggak lama lagi.” ujar Marina memelankan suaranya yang sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
RHEA [Completed]
Jugendliteratur[Belum direvisi] Rhea harus sabar menghadapi sikap Kenzo yang datar, dingin dan kaku. Sementara Kenzo dalam diamnya, ia merutuki tingkah gadis yang dipercayakan serta dititipkan di rumahnya itu. Gadis yang awalnya pemalas mendadak rajin karena harus...