Hari sudah petang mengingat sekarang menjelang malam. Di kediaman rumah Yudha, nampak Hana tengah menata makan malam di meja makan, sendirian. Setelah selesai Hana pergi ke kamar untuk sekadar membersihkan diri dan kembali ke ruang makan untuk makan malam.
Beberapa saat kemudian Hana keluar dari kamarnya dengan keadaan rapih. Ia melangkahkan kakinya mendekati kamar sang adik, sesampainya di depan kamar Hana mengetuk pintu itu pelan.
"Yudha," panggil Hana setelah mengetuk pintu.
Nihil, sang adik tidak menyahuti sama sekali. Hana menghela napasnya sebentar dan memutar kenop pintunya, dan berhasil, pintu itu terbuka.
"Astaga, ternyata tidak di kunci," gumam Hana lalu masuk ke kamar Yudha.
Hana mengerutkan keningnya ketika tidak menemukan sosok Yudha di kamarnya. Namun suara gemericik air di kamar mandi membuatnya sedikit lega.
Beberapa saat kemudian Yudha keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya.
Hana yang masih menunggu di sana sambil duduk di sofa dan membaca buku menemukan Yudha yang sudah selesai mandi, kini menutup bukunya dan menaruhnya di meja yang letaknya di samping sofa dan berjalan mendekati Yudha yang masih tidak sadar akan kehadirannya.
"Yudha," panggil Hana kepada Yudha yang membelakanginya.
Yudha yang merasa namanya di panggil berbalik dan mememukan sang kakak perempuannya.
Yudha terlonjak kaget karena tidak menyadari kehadiran sang kakak di kamarnya.
"Astaga Mba Hana, suka sekali mengejutkanku sih. Kenapa dengan tiba-tiba berada di kamarku?" ujar Yudha.
"Mba tadi sudah mencoba mengetuk pintu kamarmu namun tidak ada sahutan, ya jadi langsung masuk saja, taunya sedang mandi. Cepat kenakan pakaianmu dan turun, makan malam sudah siap," titah Hana.
"Baiklah sebentar lagi Yudha turun," sahut Yudha.
Hana mengangguk pelan dan beranjak keluar dari kamar sang adik. Ketika dirinya sudah berada di depan pintu, Hana memberhentikan langkahnya.
"Mba juga ingin membicarakan tentang sesuatu denganmu jadi cepatlah datang ke ruang makan," ujar Hana tanpa membalikan badannya untuk menatap Yudha yang terdiam.
Tanpa menunggu jawaban dari Yudha, Hana keluar dari kamar Yudha dan menutup pintu kamarnya dengan rapat.
Yudha menghela napasnya sebentar sejujurnya banyak sekali pertanyaan muncul di benaknya namun ia acuh saja dan segera memakai bajunya dan turun sebelum kakak perempuannya meneriakinya.
Yudha sudah rapi dengan piyamanya dan bergegas turun menuju ruang makan.
"Mba, lama menunggu? Maafkan Yudha." ujar Yudha ketika telapak kakinya baru saja menapaki lantai dasar.
Hana menggeleng pelan untuk menanggapi Yudha. Awal dari acara makan malam itu nampak sedikit hening.
"Mba tadi mau bilang apa?" ujar Yudha mencoba membuka pembicaraan untuk memecah keheningan yang melanda.
"Bilang apa?" ulang Hana.
"Waktu di kamar, Mba bilang mau ngomong sesuatu sama Yudha, apa itu?" tanya Yudha.
"Oh itu--Mba cuman pengen bilang, nitip rumah, besok mba ngantor." ujar Haba enteng.
"Mba ini seperti sama orang lain saja, biasanya juga Yudha di tinggal sendirian dan menjaga rumah." ujar Yudha sambil menyuapkan suapan terakhir makan malamnya.
Hana terkekeh pelan mendengar penuturan adiknya, memang benar kenyataanya seperti itu jadi Hana hanya diam tidak berani untuk menyangkal.
"Mba--boleh tidak jika Yudha ikut bekerja di kantor ayah, bersama dengan Mba?" tanta Yudha nampa sedikit ragu.
"Berapa kali Mba bilang, Yudha tidak perlu bekerja, Mba masih sanggup menghidupimu. Ayah dan Ibu juga tidak pernah bolong untuk mengirimi uang saku setiap bulannya, jadi apa yang menjadi alasan kamu ingin bekerja?" tanya Hana serius.
Yudha menghabiskan air putihnya dan menggeser piring kotor bekas makannya itu dan menaruh kedua tangannya di atas meja lalu menautkannya.
"Yudha memang tidak pernah kekurangan uang jajan, Yudha juga sedang tidak menginginkan barang apa pun yang ingin di beli sehingga mengharuskan Yudha untuk bekerja. Tidak Mba, Yudha hanya merasa menjadi adik yang tidak berguna saja. Mba bekerja keras di luar, sedangkan Yudha? Yudha hanya berdiam di rumah menunggu Mba pulang." ujar Yudha sambil menundukkan kepalanya.
"Siapa yang bilang kalo kamu tidak berguna? Mba tidak pernah berkata seperti itu." sahut Hana.
"Memang, Mba tidak pernah mengatakannya. Tapi pikiranku, pikiranku yang selalu mengajakku berdebat." jawab Yudha spontan.
"Dan mulai sekarang hilangkan pikiranmu mengenai dirimu, apa pun alasannya Mba tidak mengizinkanmu untuk ikut bekerja, bukan karena Mba khawatir kedudukan Mba akan tergantikan olehmu, Bukan. Mba benar-benar tidak mengizinkanmu bekerja karena Mba sayang sama kamu, Yudha. Mba tidak ingin jika nantinya terjadi sesuatu denganmu." ujar Hana panjang lebar.
"Tapi Mba--"
"Tidak Yudha," potong Hana.
"Hahh, baiklah kalau Mba tetap tidak memberiku izin. Aku selesai dan akan langsung tidur." ujar Yudha lalu hendak beranjak pergi ke kamarnya membuat Hana menghela napasnya pelan.
"Baiklah, coba mintalah izin ke Ayah dan Ibu. Jika dapat izin dari mereka akan Mba ajarkan dulu mengenai beberapa hal sebelum kamu terjun." ujar Hana sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
Yudha menatap Hana dengan binaran matanya.
"Serius Mba?" tanya Yudha mengkonfirmasi dan langsung mendapat anggukan dari Hana.
"Baiklah akan aku hubungi ayah sekarang juga." ujar Yudha dan segera bergegas ke kamarnya untuk mengambil ponselnya dan menghubungi sang Ayah.
Other side,
"Mas Banu, besok aku akan pergi ke kantor dengan Aditya." ujar Zia tiba-tiba.
"Baiklah," sahut Banu sambil beranjak untuk meletakan piring kotor bekas makan malamnya di tempat pencucian piring lalu di ikuti oleh Zia.
Keduanya kini duduk di ruang tv untuk sekadar menonton tv.
Zia sesekali mamasukan suapan es krim ke dalam mulutnya. Padahal baru saja makan malam, mungkin Zia belum merasa kenyang.
"Mas tumben sekali belum mengantuk, biasanya kalo setelah makan malam Mas akan langsung pergi tidur." ujar Zia sambil menatap sebentar ke arah Banu yang duduk di sampingnya.
"Memangnya Zia sudah mengantuk?" tanya Banu tanpa memalingkan wajahnya dari tv.
"Belum," sahut Zia tanpa berpikir.
"Iya sudah." jawab Banu.
Zia mengerutkan keningnya pertanda bingung dengan pertanyaan Masnya. Namun Zia acuh saja dan memilih untuk melanjutkan memakan es krimnya.
"Aditya besok ke sini jam berapa?" tanay Banu.
"Entah, kita lihat saja besok." sahut Zia.
Setelah Zia berbicara seperti itu, keheningan menerpa suasana di ruang tv itu.
"Mas, mau es krim tidak?" tawar Zia tiba-tiba sambil menyodorkan wadah es krimnya ke Banu.
"Tidak, habiskan saja Zia. Mas masih kenyang." tolak Banu.
"Zia juga sama, ini tinggal sedikit lagi. Mas Banu habiskan ya?" bujuk Zia.
Banu melihat wadah es krim itu dan benar, isinya tinggal beberapa suap lagi. Dan Banu mengalah saja menurut untuk menghabiskannya.
Zia tersenyum sebentar ketika Banu mengambil wadah es krimnya dan memakannya berniat menghabiskannya, karena demi apa pun dirinya benar-benar sudah kenyang. Jika kembali di simpan di kulkas dan di nikmati lagi di hari esok. Rasanya sedikit kurang enak. Jadi lebih baik jika sudah di buka maka langsung di habiskan. Begitu pemikiran Zia.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
A SONG FOR YOU (REVISI)
Teen Fiction(END) Menyakiti dan Di sakiti. Menghina dan Di hina. Melukai dan Di lukai. Kata yang berawalan dengan Di bernilai plus di mata Tuhan. Mencintai itu tidak salah. Karena dengan tiba-tiba timbul ke permukaan dan mendesak hasrat untuk segera mengungkap...