Dua Puluh Satu

1.3K 255 17
                                    

"Jadi, kamu ingin hubungan kita berakhir?"

"... iya."

"Kamu yakin?" Anya mengangguk sambil menatap Bara, sebagai jawaban.

Tanpa sadar Bara menggenggam erat kotak cincin yang masih berada ditangannya. Memalingkan padangan ke arah lain.

"Oke. Kalo itu yang kamu inginkan. Kita akhiri ini secara baik-baik."

🌼🌼🌼🌼

Keputusan Anya untuk mengakhiri hubunganya nampaknya memang tepat. Buktinya, setelah Anya bilang ingin mengakhiri hubungan mereka, Bara sama sekali tidak memberi respon yang mencegah hal itu. Bahkan pria itu langsung menerima permintaan Anya.

Walaupun Anya yang minta putus, tapi sebagai wanita yang sudah merasakan cinta pada pria itu, rasanya sedih sekali. Berharap banget seperti di drama korea, saat ia akan pergi, tiba-tiba Bara memeluknya dari belakang. Tapi lagi-lagi itu cuma harapan. Nyatanya Bara hanya membiarkan Anya pergi.

"Huft ...." terdengar helaan nafas panjang dari Anya.

"Ngapa?" Tanya Satria.

Anya dan Satria kini duduk santai di kursi teras rumah Anya. Menikmati bulan sabit di akhir bulan sambil ditemani secangkir bandrek yang mereka beli dari penjual bandrek keliling tadi.

"Apanya yang 'ngapa'?" Anya balik bertanya.

"Ya, lo menghela napas panjang begitu. Nyesel ya?" Goda Satria.

"Tauk ah."

Menyesal sih, tidak juga. Hanya saja, Anya selalu berpikir tentang hidupnya yang miris.

"Udah, nggak usah dipikirin. Masih banyak kok cowok yang mau sama lo. Tuh, guru Bahasa Indonesia yang 'parlente' masih ngejer lo kan? Terus guru Olah Raga yang keliatan posesif itu juga masih jomblo. Tinggal pilih aja." Ucap Satria setengah meledek.

Anya mencebik, "males ah sama mereka. Ribet."

Itu cuma alasan Anya saja. Nyatanya setelah kisah cinta pertamanya yang miris ini, Anya belum ingin menjalin kasih dengan siapapun. Ia terlalu takut dicampakan tanpa diperjuangkan.

Sementara di tempat lain, seorang pria dengan setelan kerja yang sudah tidak rapih, jas sudah ditanggalkan, kancing kerahnya terbuka 2, dan lengan bajunya digulung sampai siku, sedang memejamkan matanya sambil memijat pangkal hidungnya. Akhir-akhir ini ia memang dipusingkan dengan beberapa masalah di kantor, hingga membuatnya mengabaikan pesan dari Anya. ditambah lagi dengan kenyataan kisah asmaranya, makanya saat itu Bara sedikit menghindar agar dirinya bisa lebih dulu fokus pada masalah perusahaan. Karena ini menyangkut nasib orang banyak. Untung saja hal tersebut bisa berangsur diatasi. Hingga Anya datang menemuinya tiga hari yang lalu.

Bara pikir setelah melepaskan Anya begitu saja, ia akan merasa lebih tenang. Tapi salah. Bara malah tambah pusing sekarang. Bukannya ia tidak cinta dengan membiarkan Anya pergi tanpa dicegah. Tapi ia masih bingung dengan keadaan ini. Bara belum menemukan jawaban dari rasa penasarannya.

Seandainya saja almarhum papanya lebih dulu memberi tahu perihal perjodohan ini sebelum beliau meninggal, mungkin situasinya tidak seperti ini.

"Pak Bara belum pulang?" Tanya Pak Jimmy saat memeriksa ruangan Bara yang masih terang di jam 9 malam.

Bosnya itu malah terlihat sedang rebahan di sofa ruangannya. Tidak hanya malam ini saja ia kepergok seperti ini oleh Pak Jimmy. Tapi sudah beberapa kali Bara terlihat tak bersemangat dalam hidupnya dan selalu menghabiskan malam di kantor. Padahal urusan kantor sudah teratasi. Harusnya Bara bisa lebih santai.

Anyelir untuk BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang