Delapan Belas

1.3K 220 6
                                    

Seorang gadis masih meringkuk di balik selimut tebal. Kasur yang empuk dan udara yang sejuk membuatnya nyaman, hingga tak ingin beranjak dari  sana.

Anya, menyambung kembali tidurnya setelah beberapa menit menunaikan kewajibannya subuh tadi. Rasanya ia masih lelah akibat tragedi yang menimpanya semalam.

Ya. Semalam gadis itu mengalami perampokan di perjalanan pulang dari rumah keluarga Wibisono. Satu kendaraan lain dengan dua orang di atasnya, mencegat Anya yang sedang melintas di jalan yang sepi. Anya sempat mempertahankan motor matic kesayangannya saat salah satu dari perampok itu bersikeras merampasnya. Namun, nahas. Perampok itu mengeluarkan senjata tajam yang kemudian menggores lengan bagian atas gadis itu. Anya yang shock dan kesakitan pun lengah, hingga mereka barhasil membawa kabur kendaraan Anya.

Di pinggir jalan Anya menangis dan berteriak meminta bantuan. Namun beberapa lama ia tidak mendapatkan seseorang pun yang lewat di jalan itu. Hingga akhirnya muncul serombongan  polisi dengan kendaraan roda dua yang sedang berpatroli.

Seorang polisi membawa Anya ke klinik terdekat untuk menangani lukanya, sedangkan yang lain menyusuri jalanan, mencari pelaku perampokan. Anya mendapatkan 8 jahitan pada lengannya, setelah selesai mendapat pertolongan pertama, kemudian Anya di ajak ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.

Anya sempat kebingungan saat ingin pulang, karena ia masih merasa ketakutan. Ia tak tahu harus menghubungi siapa di saat genting seperti itu, hingga akhirnya ia menghubungi Satria, sahabatnya. Ya. Sekarang Anya merasa tak memiliki siapapun di dunia ini. Hanya Satria lah harapan satu-satunya. Untung tas Anya tidak ikut dirampok, jadi ia masih bisa menghubungi sahabatnya itu melalui ponsel yang hampir low bat, yang tersimpan di sana.

Lumayan lama Anya menunggu kedatangan sahabatnya hingga ia tidur meringkuk di kursi tunggu, di dekat dinding ruangan. Tapi siapa sangka, bukan Satria yang datang malam tadi, malah Bara yang datang dengan raut super cemas.

Dan berakhirlah Anya di sini, di rumah Bara. Dengan sedikit perdebatan semalam, akhirnya Anya mengalah saat Bara membawanya pulang ke rumah pria itu. Bara sangat khawatir jika Anya sendirian di rumah. Tidak mungkin Bara menemani di rumah Anya, bisa-bisa ia habis digrebek warga. Jadi, tempat yang paling aman adalah rumahnya sendiri, menurut Bara.

Anya mengernyit dalam tidurnya, saat ia merasakan usapan lembut di kepalanya. Perlahan matanya terbuka, lalu menemukan senyum sendu dari pria yang beberapa bulan menjadi kekasihnya.

"Hai ...." sapa lembut Bara saat Anya membuka matanya. Dan dibalas Anya dengan senyuman kecil.

"Aku bawakan bubur untuk kamu. Sarapan dulu ya."

Tanpa pikir panjang, Anya pun menurut saja. Kebetulan ia sudah merasa lapar. Dari semalam ia belum makan apapun. Dengan telaten, Bara menyuapi Anya. Padahal gadis itu bisa makan sendiri, namun Bara bersikeras melakukannya.

Keduanya masih diam, hingga semangkuk bubur itu tandas dan Anya pun meneguk minumnya.

"Makasih." Lirih Anya.

Bara tersenyum, membelai kepala Anya, "lukamu gimana? Masih sakit?"

"Masih perih."

"Kamu mau mandi? Nanti aku bantu ganti perbannya setelah mandi."

Anya tak menjawab. Ia hanya memperhatikan Bara yang keluar dari kamar yang ia tempati dan kembali lagi dengan menenteng sebuah paper bag ukuran sedang.

"Kenapa belum mandi, heum?" Bara kembali mendekati Anya yang sudah merubah posisi duduk di tepian ranjang.

"Aku ... aku mau pulang." Jawabnya lirih.

Anyelir untuk BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang