Dua Puluh Lima

2.1K 273 23
                                    

Halo bunda-bunda kesayangan... maaf baru update lagi... padahal rencananya Anya-Bara dikebutin nulisnya, tapi nggak bisa karena seminggu kemarin waktuku abis buat ngoreksi penilaian akhir tahun.
Untungnya aku udah gercep bersesin nilai. Dan sekarang bisa ngelanjutin Anya Bara lagi deh..

Selamat membaca, bunda-bunda... 😘

🌼🌼🌼🌼



"Emang lo udah nggak ada rasa lagi gitu?"

Pertanyaan Satria tadi pagi mendadak terngiang di telinganya, saat Anya melihat sosok Bara yang berjalan di antara kerumunan orang-orang.

"... gue nggak tau, Sat ...."

Saat mata mereka bertemu pandang dan saling mengunci, Anya bisa merasakan debaran jantungnya yang semakin cepat.

"... gue takut ... gue takut perasaan itu masih ada ...."

Tatapan mereka semakin dalam, hingga Anya hampir melupakan situasinya sekarang ini, jika salah satu anggota home band  tidak memberinya kode untuk melanjutkan nyanyiannya.

Gimana ini, Sat? Gue masih cinta sama dia.

🌼🌼🌼🌼

Ruangan resepsi sudah hampir sepi. Yang tersisa hanya sanak saudara dan juga rekan kerja yang ikut berkontribusi dalam acara tersebut.

Rombongan guru SMA Insan Madani baru saja selesai berfoto bersama di atas pelaminan bersama sang pengantin baru, sembari mengucapkan selamat pada kedua mempelai.

Saat Tante Ratna dan Anya bersalaman, wanita paruh baya itupun menatapnya lembut, sambil terus menggenggam tangannya, "... makasih banyak ya, Anya."

"Sama-sama, Bu ...." Anya tersenyum.

"Pulang sama siapa? Dianter Bara 'kan?"

Anya menolak dengan halus, "... nggak usah, Bu. Saya bisa pulang sendiri. Lagian bareng sama temen yang lain."

Nyatanya, Anya tidak pulang bersama teman-temannya. Rumah mereka berlainan arah. Itu tadi hanya alasan Anya agar ia ibu dari bosnya itu tidak memaksa Bara untuk mengantarnya.

Ngomong-ngomong soal Bara, setelah Anya turun dari panggung tadi, ia belum melihat pria itu lagi. Entah kemana perginya, Anya mencoba tak peduli.

Anya sampai di lobi dan mengutak-atik ponselnya untuk memesan taksi online. Tapi belum sempat menyelesaikan pesanannya, perhatian Anya teralihkan oleh suara asing yang memanggilnya.

"Ibu Anyelir."

Anya mengangkat wajahnya dan mencari sumber suara. Seorang lelaki paruh baya berdiri di depannya dengan senyum ke-bapak-an.

"Iya?"

Lelaki itu menyerahkan sebuah papper bag hitam dan key card pada Anya. Ia meminta tolong untuk diantarkan ke kamar pengantin, karena si bapak tersebut sedang ada urusan yang mendesak.

Anya yang selalu berpikiran positif pun mengiyakan permintaan tersebut. Apalagi lelaki itu mengenal Anya, pasti barang yang dititipkannya ini adalah barang milik Martin. Pikirnya.

Tanpa berlama lagi Anya kembali menaiki lift menuju lantai yang sudah disebutkan. Anya berdiri di depan salah satu kamar suite room, memastikan jika ia tidak akan salah kamar, lalu membuka pintu dengan key card yang ia bawa.

Begitu pintu terbuka, ruangan tampak sepi. Sepertinya tidak ada aktifitas orang lain di sini selain dirinya dan ... seseorang yang sedang berdiri memunggunginya, yang nampak kesusahan melepas atribut pakaian tradisional yang dikenakannya.

Anyelir untuk BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang