Dua Puluh Delapan

1.4K 239 12
                                    

Sepasang kekasih itu saling berpegangan tangan. Si pria menguatkan gadisnya yang merasa gugup. Bara menggenggam tangan Anya, mencoba menenangkannya.

Seorang asisten rumah tangga menghampiri mereka yang kini duduk di ruang tamu.

"Ibu dan Bapak sedang menunggu di ruang kerja. Mari saya antar."

Anya dan Bara pun berjalan mengikuti wanita setengah baya itu ke lantai dua, di mana tuan rumah berada.

Sampai di depan sebuah pintu kayu besar berwarna coklat, wanita itu membukakan pintu dan mempersilahkan Bara dan Anya untuk masuk.

Sepasang suami istri itu sedang duduk di sofa, menunggu kedatangan tamu mereka. Mereka berdua menyunggingkan senyum kala Bara menyapa dengan hormat. Sedangkan Anya, tampak tersenyum kaku. Ini pertama kali Anya bertemu dengan suami dari ibu angkatnya. Wibisono.

"Silahkan duduk." Ucap Pak Wibisono dengan ramah.

Kesan pertama yang Anya lihat dari pria berumur yang ada di depannya ini menyambut mereka dengan baik dan ramah. Untungnya ia datang bersama Bara. Setidaknya keluarga Bara yang merupakan pengusaha juga masih mengenal keluarga Wibisono, walaupun hanya sebatas rekan bisnis.

Adrian Wibisono. Itulah nama dari suami ibunya sekarang. Ibu Tania yang belakangan ia ketahui sebagai ibu angkatnya. Terlihat dari caranya berbicara, pria yang sudah tak muda lagi dengan beberapa tanda penuaan di wajahnya merupakan orang yang berwibawa dan tegas. Walaupun senyum itu tak pernah surut dari wajahnya saat mereka berbicara, namun beliau tidak akan ragu untuk menyampaikan pendapatnya.

Anya dan Bara mendatangi kediaman Wibisono berkaitan dengan niatan mereka untuk menikah. Sepasang kekasih ini sama-sama tak memiliki orang tua lagi. Tapi bedanya, Bara masih memiliki Tante Ratna dan keluarganya. Sedangkan Anya, benar-benar sebatang kara. Kecuali Ibu Tania masih mau menganggap dirinya sebagai anak, walaupun hanya anak angkat. Maka dari itu, Bara dan Anya bermaksud meminta restu pada Ibu Tania sebagai satu-satunya keluarga yang Anya miliki.

Di sini Ibu Tania sangat berhati-hati dalam berbicara, demi menjaga wibawa suaminya. Sebaliknya, Pak Wibisono seolah menjadi juru bicaranya.

"Secara pribadi, istri saya sebagai ibu yang pernah membesarkan Anyelir, memberi restu untuk pernikahan kalian. Tapi ...." Pak Wibisono menjeda kalimatnya.

"... jika istri saya diminta untuk mendampingi Anyelir di pernikahan kalian, saya tidak mengizinkannya."

Anya yang semula tersenyum sumringah, tiba-tiba menjadi berubah setelah mendengar kelanjutan ucapan Pak Wibisono.

Sedih dan kecewa, itu yang dirasakan Anya saat ini. Bagaimana tidak, satu-satunya anggota keluarga yang menjadi harapannya tidak bisa mendampinginya pada hari bahagia mereka nanti.

Pak Wibisono menjelaskan jika ia tak ingin orang-orang menggali informasi tentang keluarganya jika sampai mereka mengetahui jika istrinya memiliki anak sebelum pernikahan mereka. Dampaknya bukan hanya pada kenyamanan dan ketentraman keluarga saja, tapi juga bisa berdampak pada bisnisnya. Wajar saja, Adrian Wibisono merupakan konglomerat lama. Kejayaan usahanya sudah meluas  di negeri ini. Dari mulai perkebunan sawit, karet, teh, hingga industri pertambangan batu bara. Jadi jika sebuah rahasia dari masa lalu terbongkar, kemungkinan bisa menggoyahkan kestabilan bisnisnya.

Baiklah, Bara bisa paham dengan hal itu. Jika kehadiran Anya di tengah keharmonisan keluarga mereka terungkap media, bisa-bisa latar belakang Anya juga akan terkuak. Dan Bara juga tak mau sampai itu terjadi.

Guratan sedih dan kecewa masih terukir di wajah Anya. Walaupun mereka sudah mengantongi restu dari Ibu Tania, tapi rasanya masih ada yang mengganjal di hati Anya. Di perjalanan pulang pun Anya menatap jalanan dengan tatapan kosong. Bahkan ketika Bara mengajaknya bicara, ia tak memberi respon apapun, hingga Bara meraih tangan Anya dalam genggamannya, seketika lamunan Anya pun buyar.

"Semua akan baik-baik saja. Heum." Bara melemparkan senyuman yang menenangkan dan dibalas anggukan oleh Anya.

🌼🌼🌼🌼


Semua akan baik-baik saja. Itulah yang diharapkan Anya. Tapi kenyataannya,  hati Anya tidak tenang. Walaupun Bara sempat bilang bahwa ada ataupun tanpa keluarga yang mendampingi, pernikahan mereka akan tetap dilaksanakan.

Bagi Anya, ini tak semudah yang diucapkan Bara. Jika suami dari ibu angkatnya saja tak ingin kehidupannya terusik karena kehadirannya, bagaimana jadinya dengan kehidupan Bara yang nantinya akan menjadi suaminya. Pasti orang-orang akan mempertanyakan asal-usul istri dari Bara Abimanyu Irawan.

Anya menghela nafas. Sekarang ia malah galau sendiri dengan pemikirannya. Andai saja Anya masih memiliki keluarga lain, pasti tidak akan serumit ini.

Dari pada galau sendirian, Anya memutuskan untuk mencari pencerahan lain. Mengobrol dengan seseorang mungkin bisa membuka pkkirannya. Tante Mala adalah orang yang tepat untuk saat ini.

"Tante bisa ngerti perasaan kamu. Terus kamu mau gimana selanjutnya?" Tanya Tante Mala setelah mendengar curahan hati Anya.

"Nggak tau, Tan."

"Kalo Tante pikir nih ya, Nya ... kamu nikah aja dulu. Gak usah mikir ribet. Toh Bara juga menginginkan kamu jadi istrinya. Pasti segala resikonya sudah dia pikirin."

Anya pikir, Benar juga apa yang dikatakan oleh Tante Mala. Ia juga tadi sempat mengutarakan ingin menemui keluarga yang tersisa dari ayah angkat dan ibu kandungnya.

Tante Mala melanjutkan, "... lagian ngapain sih kamu pengen nyari keluargamu yang nggak kamu kenal? Mereka nggak akan mempengaruhi syarat sahnya pernikahan. Kamu masih bisa pakai wali hakim."

Anya tidak tersinggung dengan ucapan ibu sahabatnya itu. Memang Tante Mala kalau bicara apa adanya, Anya sudah terbiasa dengan karakternya. Sekali lagi, ucapan Tante Mala memang benar. Keluarga ibu kandungnya juga tak bisa menjadi wali nikahnya.

Anya masih duduk termenung memikirkan nasibnya. Ia hanya menatap semangkok sekuteng di depannya yang baru saja dibeli oleh Satria.

"Dimakan. Jangan diliatin." Celetuk Satria yang duduk di sampingnya.

Anya mencebik, "... iya, iya."

Anya, Tante Mala, dan Satria menikmati sekuteng mereka masing-masing. Cuaca memang sedang dingin karena hujan baru saja reda. Jadi pas sekali jika menikmati makanan hangat sekarang ini.

"Wah! Enak nih dingin begini makan sekuteng." Seru Ayah Satria - Om Wisnu - a.k.a Pak RT, yang baru saja tiba di rumah.

Tante Mala segera menghidangkan makanan tersebut untuk suaminya. Mereka berempat duduk bersama di ruang makan, menikmati hangatnya sekuteng.

"Tadi ada pacar kamu tuh di depan." Celetuk Om Wisnu.

Anya menghentikan suapannya, "hah? Kok Om gak bilang sih?"

"Ini bilang." Bela Om Wisnu membuat Anya otomatis mencebik.

"Sekarang Mas Baranya di mana?"

"Udah Om suruh pulang. Tapi kayaknya dia masih di depan rumahmu."

Anya menyudahi makannya dan segera beranjak dari sana. Tapi langkahnya terhenti saat Om Wisnu berseru, "suruh Bara dateng bawa keluarganya temuin Om!"

🌼🌼🌼🌼

Tbc.

Anyelir untuk BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang