Dua Puluh

1.3K 249 14
                                    

"Anya, laporan bulan lalu udah lo buat?"

"Nya ... Anya!"

Windy terpaksa meninggikan suaranya. Pasalnya sejak tadi Anya tidak merespon jika diajak bicara. Windy melihat temannya itu belakanga ini sering melamun. Raganya ada di tempat, tapi pikirannya entah hilang kemana.

"Eh, iya. Apa Win?" Anya baru tersadar.

Windy berdecak kesal dengan perilaku Anya yang aneh, "... dari tadi ditanyain, dipanggilan nggak nyaut-nyaut. Ngelamunin apa sih, Nya?"

Anya hanya membalas dengan cengiran tanpa dosa.

"Mana laporan bulanan lo? Sekalian nih gue mau minta tanda tangan Pak Martin."

"Bentar ya, Win gue print dulu."

"Yaudah, buruan." Windy meninggalkan ruangan Anya.

Sepeninggalan Windy, Anya menghembuskan nafasnya. Ia baru menyadari jika dirinya sejak tadi melamun, jadi tidak fokus pada pekerjaannya. Untung saja laporannya sudah selesai sejak kemarin. Kalau tidak, pasti habis dia dimarahi Windy 'si koordinator BK'.

Sudah hampir seminggu hubungan Anya dan Bara tidak ada kemajuan. Chat yang Anya kirimkan tak satupun ada yang dibuka oleh Bara. Anya sadar, mungkin Bara merasa jika selama ini ia salah menilai Anya.

Memang siapa sih yang mau dengan gadis yang tidak jelas?

Itulah yang sekarang menari-nari di pikiran Anya. Makanya gadis itu jadi sering melamun. Ia makin merasa bukan siapa-siapa di dunia ini.

Apalagi ia juga sudah bertanya dengan Tante Mala - mama Satria -, tentang keluarga ayahnya. Tak disangka, memang benar adanya kalau ayahnya memiliki adik perempuan yang menjadi korban pemerkosaan. Tadinya Tante Mala enggan menceritakan masalah yang sudah lama tertutup rapat. Tapi Anya memaksa dan akhirnya mau tak mau Tante Mala menceritakan masa lalu Anya tersebut.

Tidak ada yang pernah mengungkit kejadian itu semenjak Ratih meninggal dan bayi kecil yang tak berdosa itu dirawat oleh kerabatnya, yang diketahui selama ini adalah ayah dari  bayi bernama Anyelir.

🌼🌼🌼🌼

Anya memandangi cincin berlian yang masih melingkar di jari manisnya. Semalam ia sudah bertekad untuk mengembalikan benda itu jika kekasihnya tidak membalas pesannya. Lalu ia melepas cincinnya dan menyimpannya di kotak bludru warna biru.

Anya menghela nafas. Keputusannya sudah bulat. Ia akan menemui Bara di kantornya. Tadi Anya sudah menelfon Satria, bertanya keberadaan bosnya. Dan siang ini Bara berada di kantornya. Pas sekali, mungkin ini waktu yang tepat untuk mencari titik terang pada hubungan mereka.

Dengan langkah berat, Anya memasuki gedung di mana pria yang masih menjadi kekasihnya memimpin. Baru sampai di lobi saja dia sudah merasa rendah diri. Ia merasa tak pantas jika nanti akan bersanding dengan konglomerat pemilik gedung ini, mengingat bagaimana latar belakangnya.

Anya menghampiri meja resepsionis dan mengatakan jika ia ingin bertemu dengan Satria. Ya, Anya nggak seberani itu untuk bilang kalau ingin bertemu bos mereka. Takut-takut nanti malah diusir. Jadi, lebih baik meminta bantuan Satria saja.

Beberapa menit kemudian Satria datang setelah petugas resepsionis menghubungi divisinya.

"Anya!"

"Sat ...."

"Kok nggak langsung nemuin orangnya sih?" Tanya Satria.

"Gue nggak berani." Jawab Anya sambil menunjukkan cengirannya.

Anyelir untuk BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang