Dua Puluh Dua

1.3K 251 25
                                    

Seperti biasa di ruang BK, pada jam istirahat begini ruangan tersebut ramai di datangi oleh siswa. Entah itu yang bermasalah ataupun sekedar konsultasi karir. Biasanya siswa kelas 12 yang konsultasi Karir, karena sebentar lagi mereka akan lulus dan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Pemilihan jurusan yang tepat dan sesuai minat juga sangat penting untuk jenjang karir mereka di masa depan. Tapi tidak menutup kemungkinan siswa yang memilih jurusan berdasarkan kesempatan peluang, juga lebih sukses masa depannya.

Jika sudah semester genap seperti ini, jadwal konseling atau konsultasi untuk siswa kelas XII memang lebih intens. Jam istirahat ke-dua ini saja Anya sudah membantu Windy menangani 3 siswa secara bergantian. Lumayan lah.

Bel istirahat berakhir telah berbunyi. Otomotis seluruh siswa masuk kembali ke kelas masing-masing. Ruang BK mulai berangsur sepi. Ini saatnya para Anya, Windy, dan Vina untuk beristirahat. Sejak tadi makan siang yang mereka pesan sudah terhidang di meja tamu, sekarang sudah dingin. Itu memang sudah biasa jika situasi seperti ini.

"Eh, udah denger kabar belom?" Vina mengawali acara gosip internal mereka.

"Gosip apaan?" Tanya Windy.

"Itu, kabar Pak Martin mau nikah."

Anya dan Windy menggeleng.

"... iya, awal bulan depan nikahannya." Lanjut Vina.

Anya dan Windy berohria. Mereka melanjutkan obrolan sambil makan siang. Hingga seorang guru senior, Ibu Yasmin, datang ke ruangan mereka membawa beberapa papper bag untuk dibagikan pada mereka.

Ibu Yasmin mengantarkan bahan kain seragam panitia yang akan digunakan pada pernikahan Pak Martin. Beliau bilang jika semua guru dijadikan panitia di acara resepsi bos mereka.

"Ini contoh kebayanya ya. Potongannya kutu baru. Kain bawahannya juga ada." Ibu Yasmin menunjukkan selembar desain kebaya, "... ini belahan bawahnya jangan tinggi-tinggi. Biar angan kamu aja yang tinggi, Vin."

"Yaelah, Ibu. Saya kan kalo pake sopan terus." Vina membela diri.

"Ya kalo di sekolah emang sopan. Kamu nggak inget pas kita ketemu di kondangan waktu itu. Anak Ibu aja sampe nggak kedip liat paha kamu."

Anya dan Windy pun cekikikan melihat temannya dicecar oleh senior mereka. Pasalnya memang Vina ini tergolong berani sekali dalam berpenampilan. Maklumlah sejak remaja pergaulannya memang  bebas. Nasibnya saja yang salah jurusan menjadi guru.

"Ya bagus dong, Bu. Bearti anak Ibu normal." Sahut Vina membuat Ibu Yasmin mencebik.

"Banyakin istighfar, Bu. Jangan sampe Vina jadi mantu Ibu." Timpal Windy dengan gelak tawanya.

"Ya, nanti Ibu pakein gamis sekalian. Biar nggak berani macem-macem dia."

Kedua teman vina itupun sontak terbahak-bahak mendengar ancaman Ibu Yasmin. Ada-ada saja.

Setelah Ibu Yasmin meninggalkan ruangan mereka, Anya dan teman-temannya masih membahas tentang seragam yang digikan tadi. Apalagi mereka juga mendapat clutch pesta yang sama.

"Holang kaya, emang nggak kaleng-kaleng. Ini tas pesta aja diseragamin. Takut kali ya kalo kita bawa kantong kresek." Seloroh Windy.

"Yeee ... ini namanya nikah bermodal. Lumayan kan nambahin koleksi." Timpal Vina.

"Eh, Anya, entar kalo lo nikah, kain bridesmaidnya yang lebih mewah dari ini ya. Terus clutch-nya pilih yang banyak permatanya." Seru Vina lagi.

"Kok, gue? Ngapa nggak kalian aja?" Anya menanggapi dengan santai.

"Lo kan calon bini 'hol-kay'."

"Calon bini dari Hongkong. Gue jomblo ini." Sahutnya cuek.

"Hah?"

"Jomblo?"

Seru Vina dan Windy bersamaan dan hanya diangguki oleh Anya.

"Kok bisa?" Windy memastikan.

"Ya, namanya juga belom jodoh."

Kedua temannya itu berusaha mengorek-ngorek alasan dibalik kandasnya percintaan Anya. Namun sayang sekali, Anya tetap enggan menceritakan kisah cintanya yang miris.

🌼🌼🌼🌼

Seperti biasanya, Anya pulang terakhir dibanding guru yang lain. Setelah mengemasi box kuenya dan menghitung hasil penjualan hari ini, ia segera pergi meninggalkan sekolah. Masih ada satpam yang duduk di posnya. Dihalaman depan juga terlihat mobil Kepala Sekolah masih terpakir rapih di sana, berjejer dengan satu mobil mewah.

Anya berjalan melewati lorong, menuju  halaman depan, tak sengaja ia bertemu dengan Pak Martin dan seorang pria yang ia kenal di samping bosnya.

Anya tersenyum dan mengguk sopan pada keduanya.

"Baru mau pulang, Miss?" Martin menyapa.

"Iya, Pak." Balasnya masih tersenyum sopan,  "... saya duluan. Permisi." Anya melangkah lebar meninggalkan sang bos dan mantan kekasihnya yang memandanginya dengan tatapan tak terbaca.

Anya sudah mulai menjauh dari kedua orang yang memeperhatikannya, hingga punggungnya menghilang, "... sepertinya dia baik-baik aja." Ucap Martin tiba-tiba.

"Sepertinya memang begitu."

"Udah puas 'kan? Ayo pulang." Ajak Martin.

"Lo duluan aja. Gue masih ada perlu."

"Terserah deh, Bang."

Kedua pria itu memasuki mobil masing-masing. Setelah Martin keluar terlebih dulu dari area sekolah, barulah beberapa menit kemudian Bara pun keluar dari sana.

Tapi Bara tidak langsung pulang, ia berhenti di tepi jalan agak jauh dari halte. Tempat seorang gadis yang belakangan ini mengganggu pikirannya, sedang menunggu angkutan umum.

Anya. Setelah kehilangan satu-satunya kendaraan yang ia miliki, terpaksa ia harus menumpang angkutan umum.

Dengan kaca mata hitamnya, Bara memperhatikan Anya dari dalam porsche-nya. Tadi siang, kedatangan Bara ke sekolah tanpa kabar terlebih dulu, membuat Martin heran. Pasalnya Bara tidak akan datang ke tempat kerjanya jika bukan karena Anya. Tapi yang sudah Martin ketahui bahwa hubungan mereka berdua sudah berakhir.

Menurut pengamatan Martin, Bara sedang mengalami fase penyesalan. Salah sendiri tidak berani tegas dengan hubungannya. Martin sampai mengatakan jika kakak sepupunya itu terlalu drama. Jika memang ia mencintai gadis itu sungguh-sungguh, bagaimanapun masa lalunya harus tetap diterima. Toh, itu juga bukan kemauan Anya ditakdirkan seperti itu.  Bara dinilai terlalu takut untuk berkomitmen.

Bara sejak tadi ingin sekali bertemu Anya, tapi permintaannya tidak dikabulkan oleh adik sepupunya itu. Sebab, Martin tidak ingin lagi ikut  campur dalam kisah yang tidak jelas, yang dibuat oleh Bara. Martin juga merasa kasihan pada Anya, pasti sangat sulit ada di posisinya yang juga baru mengetahui latar belakangnya. Harusnya Bara sebagai kekasih bisa memberi dukungan, bukannya malah menjauh. Kalau sudah berakhir begini, baru menyesal. Dasar Bara plin-plan.

🌼🌼🌼🌼

Tbc.

Wow... senengnya kalo ide lancar jaya begini... walaupun dikit-dikit, yg penting up terus ya, bund...

Ini publish nya kejer-kejeran sama kuota yg hampir menipis.

Makasih udah baca ya, bund...

Anyelir untuk BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang