Baru saja mobil Rivaldo berhenti di depan rumah Alin, Alin segera bersiap keluar. Tapi alangkah malangnya, karena pintu mobil masih terkunci oleh si pemilik. "Cepat buka pintunya!" Pinta Alin tanpa menilik sedikitpun pada Rivaldo.
Melihat Alin yang sepertinya butuh waktu untuk menyendiri, Rivaldo menuruti perintah Alin dan wanita itu pergi begitu saja.
Rivaldo menghela napas panjang sambil memperhatikan Alin berjalan. Jujur, ia juga sebenarnya merasa bersalah atas tindakannya. Tak seharusnya terlalu mengurusi kehidupan Alin dan terlalu posesif terhadap wanita itu.
Entahlah, Rivaldo juga tidak bisa mengontrol dirinya sendiri untuk tidak terlalu posesif. Dia tipikal pria yang jika sudah nyaman pada satu wanita, maka apapun akan dia lakukan untuknya.
Setelah dilihat Alin sudah sepenuhnya masuk ke rumah, Rivaldo melajukan mobilnya meninggalkan rumah Alin.
Begitu Alin masuk ke rumah, ia mendapati sang Mama masih menonton televisi seorang diri sambil menikmati semangkok mie instan di meja, padahal ini sudah larut malam. Kalau sudah melihat pemandangan seperti itu, berarti Nawang dan Arsan sedang bertengkar.
Alin duduk di sebelah Nawang dan menghembuskan napas. "Kenyang banget sumpah," katanya.
Nawang melirik anaknya. "Kamu pulang sama siapa?" Tanyanya langsung.
"Mas Driver."
"Tadi di pesta ketemu Ilham nggak?"
Alin mengangguk. Tangannya mulai nakal mengambil alih garpu di tangan Mamanya dan menyantap mie instan. Padahal baru saja wanita ini bilang kenyang.
"Soalnya waktu kamu baru berangkat, si Ilham kesini nyamperin kamu."
Alin meletakkan garpu di mangkok dan fokus pada obrolan. Ilham kesini? "Ngapain?"
"Mau ngajak berangkat bareng katanya. Tapi kamunya udah berangkat duluan. Kasihan ih, soalnya si Sania lagi nggak bisa ikut."
Setelah mendengar jawaban Mamanya, Alin seperti tidak bisa menelan kunyahan mie instan di mulutnya. Ia syok berat. Seorang Ilham, dengan segala kecuekan pria itu kepadanya tiba-tiba nyamperin dan mengajak berangkat ke kondangan bareng? Mustahil!
"M-m-mas Ilham bilang gitu, Ma?"
"Masa Mama mau ngeprank kamu."
Alin masih sedikit tidak percaya. Memang sih, Ilham akhir-akhir ini sikapnya beda. Ia jadi tidak enak hati pada pria itu. Pasti kecewa sekali. Sudah menurunkan ego untuk mengajaknya ke kondangan bareng biar ada gandengannya, tapi malah tetap saja berujung berangkat sendirian.
"Harusnya Mama telpon aku biar aku putar balik."
Bola mata Nawang berputar tak habis pikir. "Yakali, Mbak."
"Dahlah, males! Ngantuk, mau tidur!" Sungutnya dan berlalu.
Esok paginya, Alin duduk di kursi meja makan. Tubuhnya sudah dibalut pakaian rapi dan siap untuk berangkat kerja. Dahinya mengernyit heran melihat pemandangan dapur pagi ini. Biasanya Ayahnya sudah duduk manis di kursi meja makan sambil membuka tab, tapi pagi ini Ayahnya itu justru sibuk membuat kopi untuk dirinya sendiri. Sedang sang Mama juga sibuk membuat sarapan.
Alin yakin, mereka pasti masih bertengkar.
Nawang meletakkan nasi goreng di meja makan dan mulai mengambilkan bagian untuk Alin.
"Ma?" Panggil Alin.
"Hmm." Sahut Nawang.
"Masih pagi, mukanya jangan jutek gitu dong."
Nawang mengangkat kepala dan menatap anaknya. Hendak memprotes pernyataan Alin tapi begitu melihat sesuatu yang asing di leher anaknya, Nawang mengernyit. "Itu leher kamu kenapa, Mbak?"