Hari pertama Alin berangkat kerja ke rumah Rivaldo. Tukang ojek yang dirinya pesan sudah menunggu depan rumah. Selesai menandaskan segelas susu, Alin bergegas menyalami Arsan dan Nawang. "Aku berangkat dulu. Assalamualaikum."
"Nggak usah lari-lari Mbak..." Teriak Nawang khawatir melihat Alin berlari kencang padahal kakinya menggunakan sepatu hak tinggi.
"Iyaa." Dan Alin masih sempat-sempatnya menyahut.
Sampai diluar, Alin melihat Ilham tengah mengelap mobil kesayangan pria itu. Aaahh... Andai Rivaldo tidak merepoti dengan memintanya mengurus pria itu, sudah pasti Alin akan langsung menghampiri Ilham untuk berangkat bersama ke kantor, seperti kemarin.
Alin berdiri di motor tukang ojek dan melambaikan tangan kala Ilham menatap ke arahnya. Tak lupa ia memamerkan senyum selamat paginya pada Mas Ilham.
Dan tentu saja respon Ilham hanya mendengus kesal dan membuang muka. Tapi... Pria itu melempar kanebo di kap mobil dan menghampiri Alin.
"Mas-mas, jalannya nanti ya. Tuh, pacar saya mau nyamperin dulu. Hehehe." Bisik Alin pada tukang ojek yang syukurnya bukan orang seperti semalam.
"Iya, Mbak."
Ilham tiba dihadapan Alin. Ekspresi wajah pria itu datar namun memiliki begitu banyak unek-unek yang ingin disampaikan. Hanya saja, Ilham sungguh malas berbicara panjang pada Alin. Jadi, pria ini menghampiri Alin dan berdiri diam saja, alih-alih berbicara atau memarahi karena kemarin sore wanita di depannya ini sempat membuatnya khawatir. Ya, khawatir.
"Eumm... Mas Ilham mau ngajak berangkat bareng, ya? Tapi... Maaf Mas, hari ini sampai seminggu kedepan kayaknya aku nggak nebeng Mas Ilham dulu. Soalnya tempat kerja kita beda lagi," Katanya dengan raut kecewa.
Ilham masih tetap mempertahankan ekspresi datarnya. Lantas pria ini melirik sekilas tukang ojek yang masih setia menunggu penumpangnya naik. Sebenarnya Ilham ingin sekali memarahi Alin karena sudah membuatnya bersikap gila kemarin sore. Tapi entah kenapa diri ini tidak bisa sedikitpun memarahi gadis di depannya ini. Paling mentok, Ilham hanya berani bersikap cuek dan abai saja pada Alin. Untuk memarahi, jujur ia belum bisa. Juga belum siap mendapat amukan sang Bunda kalau-kalau dirinya benar berani memarahi anak tetangga kesayangannya Bunda.
Jadi, daripada diam saja seperti patung Pancoran, Ilham memberanikan diri untuk mengelus rambut kepala Alin dan memberinya senyum selamat pagi. "Hati-hati ya dijalan," Katanya meski dengan raut wajah datar kemudian segera pergi.
Sedang Alin kini hanya bisa terdiam tak berdaya. Lututnya lemas, untung saja disebelahnya ada motor jadi bisa ia gunakan untuk menopang tubuhnya yang seketika lemas bak jelly.
Ilham... Pria itu benar-benar magnet bagi Alin.
"Mbak, jadi berangkat apa nggak?" Tanya tukang ojek sambil menggoyangkan motornya agar Alin segera sadar.
Mendengar suara lain membuat Alin tersadar dari lamunannya. Ia segera menaiki motor dan memakai helm dengan senyum sumringah. Alin bahkan mengabaikan bau tak sedap dari helm tukang ojek.
Sebelum benar-benar pergi, mata centilnya sekali lagi melirik pintu rumah Tante Irma sambil membayangkan kejadian barusan.
Benarkah itu tadi Ilham? Mas Ilham-nya? Sungguh? Aaahh... Pagi yang menyenangkan dan sepertinya tidak akan Alin lupakan. Barusan adalah kejadian langka. Sangat langka.
Tiba di kediaman Rivaldo, wajah sumringah Alin yang terpancar sejak bertemu Ilham di depan rumah sirna tergantikan oleh raut suram. Suram karena setelah ini ia harus ekstra sabar menghadapi Rivaldo. Memasuki area pekarangan rumah, seperti biasa Alin disambut heboh oleh Cecep yang kini tengah asyik menyirami tanaman.