Rupanya kedatangan Rivaldo ke rumah hari kemarin, tidak membuat Alin berniat untuk berangkat kerja. Hari ini, ia kembali tidak berangkat ke kantor, ini sudah hari keempat. Bos besarnya bahkan sudah mendatangi rumahnya, tapi sepertinya Alin menyepelekan ucapan dan posisi Rivaldo. Jelas pria itu memiliki wewenang besar untuk mengatur karyawannya.
Pagi sekitar pukul sepuluh, Alin baru bangun tidur. Tidak ada Alin yang selalu bangun pagi, mandi dan ber-makeup ria lalu berangkat ke kantor. Hari ini hanya ada Alin yang pemalas untuk melakukan segala hal. Bahkan untuk ke kamar mandi sebentar saja ia malas sekali jika tidak dipaksa-paksa.
Setelah menyikat gigi dan membasuh muka, Alin kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Nyawanya masih belum terkumpul semua, jadi ia butuh waktu untuk mengumpulkannya. Disela-sela rebahannya, Alin teringat sesuatu. Ponsel. Sudah lama tangannya tak menyentuh benda pintar berbentuk pipih itu.
Samar-samar tangannya meraba laci nakas dekat tempat tidur, disana ia menemukan ponselnya yang segera di aktifkan setelah beberapa hari belakangan sengaja ia nonaktifkan untuk menghindar dari para rekan kerja.
Mata Alin membulat seketika kala layar ponsel menyala dan terlihat ada banyak notifikasi datang.
25 panggilan tak terjawab dan 10 pesan dari Nisa.
10 panggilan tak terjawab dan 3 pesan dari Mas Husni.
32 panggilan tak terjawab dari Mas Hardi.
Dan ... Entah ini benar atau salah, yang jelas bulu kuduk Alin meremang kala membacanya. 7 panggilan tak terjawab dari kontak bernama Mas Rivaldo.
Dahi Alin mengernyit dalam. Nyawa yang sejak tadi ia tunggu agar terkumpul langsung ambyar. Rasa-rasanya ia tak pernah memberi nomor ponsel pada Rivaldo dan lagi, kenapa bisa nomor Rivaldo nyangkut di ponselnya?!!!
Tidak masalah jika Rivaldo memiliki nomor ponselnya, tapi yang jadi masalah kenapa bisa nomor Rivaldo sudah tersimpan di kontak ponselnya? Apalagi dengan nama kontak 'Mas Rivaldo', bukankah itu tidak sopan? Ia bahkan tak berani memanggil Rivaldo dengan sebutan Mas.
Pantas saja kemarin malam Rivaldo memintanya untuk mengaktifkan ponsel.
"MBAAAAK.. masih nggak mau bangun?" Seseorang diluar sana berteriak sambil mengetuk pintu keras-keras.
Alin melirik sungkan pada daun pintu dan menjawab, "Udah.. ini udah mandi, bentar lagi keluar." Bohongnya. Sudahlah, lebih baik ia bohong daripada harus menerima ceramah Mamanya yang pasti akan berujung membanding-bandingkannya dengan anak gadis tetangga sebelah yang kerjanya giat dan gaji melipat.
"Bener udah mandi? Coba buka dulu pintunya, Mama minta bukti."
"Aku lagi ganti baju, Ma .. malu..."
"Yaudah, cepetan keluar terus makan."
Tumben. Batin Alin.
"Iya," balasnya singkat.
Suara Mamanya sudah tak terdengar lagi, Alin kembali memfokuskan pandangannya pada ponsel. Membuka pesan dari Nisa dan Mas Husni yang isinya makian semua. Alin cekikikan membaca pesan Husni yang bilang selalu kalang kabut saat dirinya tidak masuk kantor.
Kegiatan Alin terhalang saat nomor Nisa menghubunginya. Tubuhnya kini bangkit dari posisi rebahan manja dan mengangkat telepon dari Nisa. Untuk kali ini ia tak mau lagi bersembunyi. Untuk apa ia bersembunyi, toh dirinya akan segera resign dari kantor itu.
"Halo, kenapa Mbak?" Sapanya santai.
"Kenapa? Kamu bilang kenapa?"
"Santai dong, Mbak. Sensi banget kayak cewek PMS."