And I said
Romeo, take me somewhere we can be alone
I'll be waiting all that's left to do is run
You'll be the prince and I'll be the princess
It's a love story, baby just say yes!Suara merdu milik Taylor Swift yang menyanyikan lagu lamanya dengan judul Love Story terdengar nyaring di kamar Alin. Sedang pemilik kamar tengah sibuk memoles lipstick merah merona di bibirnya sambil sesekali mengikuti alunan musik di ponselnya.
"Kelihatan tua banget nggak sih?" Tanyanya pada diri sendiri didepan cermin. Bibirnya sengaja dikulum kedalam dengan kepala melenggak-lenggok kanan-kiri untuk menilai penampilannya sendiri.
Merasa tidak setuju dengan pertanyaannya sendiri, Alin menggeleng. Tidak, dandanannya tidak kelihatan tua. Karena ia hanya sedikit menebalkan bedak saja.
Ia lantas tersenyum pada diri sendiri. Senyum sumringah yang ia tunjukkan hari ini, hari pertamanya kembali masuk kerja. Ya, setelah beberapa hari menjadi pengangguran yang malas, hari ini ia bertekad untuk berangkat ke kantor lagi. Alin berharap keputusannya ini bisa membuat dirinya lebih dekat lagi dengan Ilham. Berharap Ilham melihatnya bekerja, menatap fokus pada layar monitor dan mengedit beberapa naskah. Pasti keren sekali. Tidak kalah keren dari profesi Sania.
"MBAAAAK... Jadi berangkat kerja apa nggak? Kalo nggak jadi motornya mau dipake Aiden."
Senyum Alin memudar, ia bergegas membuka pintu kamar. "Jadi!" Teriaknya bersamaan dengan membuka pintu.
Nawang bengong memperhatikan penampilan Alin dari atas sampai bawah lalu ke atas lagi dan fokus pada riasan anak sulungnya. "Kamu mau ke kantor atau mau manggung?"
"Ngamen sekalian. Ya ke kantor lah Ma..."
"Tapi ini tebel banget lhoh riasan kamu."
"Biarin!" Balasnya sambil berlalu melewati Nawang.
Kepala Nawang menggeleng sambil mengelus dada beberapa kali. "Sabar-sabar..."
Ketika langkah Alin tiba di dapur, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Citra dan Aiden tengah berseteru tanpa suara memperebutkan ponsel milik Arsan. Pasti dua anak itu berebut ponsel Ayahnya untuk mengisi saldo Dana. Sedang si pemilik ponsel sibuk membaca koran tanpa mengetahui anak-anak nakalnya tengah adu kekuatan berebut ponselnya.
Kalau sudah melihat pemandangan seperti itu membuat mood makan Alin jadi berantakan. Pasti nanti ujung-ujungnya mereka berantem pagi-pagi dan Alin tidak mau pagi ini menjadi buruk dengan melihat dua adiknya adu bacok. Jadi, untuk memulai hari pertama kembali bekerja, Alin putuskan untuk tidak ikut sarapan.
Tiba di kantor, suasana masih sepi karena memang masih pagi sekali. Sambil berjalan menuju ruang divisinya, kepala Alin celingukan mencari para karyawan lain. "Ini gue nggak salah kantor kan, ya?" Tanyanya pada diri sendiri.
Memasuki ruangan divisinya, Alin melihat hanya ada Jamal seorang diri disana. Pria berkacamata tebal, setebal kumisnya juga itu memang dikenal sangat pekerja keras. Jamal seringkali lembur seharian tanpa pulang ke rumah dan sepertinya kemarin Jamal tidak pulang karena dilihat dari pakaiannya, sangat kusut. Apalagi rambutnya yang berantakan. Sungguh mengenaskan penampilannya.
Selesai menilai Jamal dari hati, Alin menghampiri Jamal. "Pagi Mas Jamal..." Sapanya berdiri disebelah kubikel Jamal.
Jamal melirik Alin sekilas. "Saya kira kamu sudah sayonara, Lin."
Sialan si Jamal!
"Nggaklah... Saya kan masih butuh duit, hehe." Balasnya lantas berlalu menuju kubikelnya sendiri.
Menit demi menit berlalu, para penghuni ruangan yang sama dengan Alin mulai terlihat batang hidungnya. Semuanya menyindir Alin yang beberapa hari belakangan tidak berangkat dan tahu-tahu hari ini berangkat pagi sekali.