D u a p u l u h d e l a p a n

2K 223 37
                                    

Hari yang sangat menyebalkan! Sialan! Semua rencananya berantakan. Dan penyebabnya adalah pria bernama lengkap Rivaldo Hendriksen.

Dengan langkah lebar Alin menuju ruang divisinya. Ya, akhirnya Alin bisa keluar dari jeratan bos sialannya itu. Tentu setelah ia berhasil memaksa mulutnya menghabiskan makan siang itu.

"Abis diapain sih kamu, lama banget di ruangan Pak Valdo." Tanya Nisa ketika melihat Alin duduk di kursi kubikelnya. Nisa memberi pertanyaan yang jelas-jelas memancing emosi Alin.

"Abis dimarahi lah!" Balasnya nyolot tanpa melirik sedikitpun pada Nisa.

"Makanya kerja tuh yang bener. Absen di perhatikan. Dikira ini kantor punya Bapak kamu apa." Si Jamal yang biasanya diam tidak suka mencampuri urusan orang, sekarang ikut-ikutan menimpali pembicaraan Alin dan Nisa.

Nisa tertawa tanpa suara melihat ekspresi wajah Alin yang menahan emosi pada Jamal. "Dia nggak tau aja kalo Pak Rivaldo temanan sama Om Arsan." Bisiknya.

Alin melirik Nisa cepat kilat. "Awas aja kalo orang-orang sini tau! Mbak Nisa orang pertama yang akan aku musuhi seumur hidup, setelah Sania minyak goreng kelapa sawit!"

"Ampunnnnn bang Jago. Ohiya, btw aku nggak percaya sama jawaban kamu yang abis dimarahi Pak Bos. Abis dienak-enakin kan pasti?"

Sungguh sialan sekali si calon pengantin satu ini! Mentang-mentang mau dihalalin, kalau ngomong suka bikin anak orang keselek ludah sendiri.

"Apaan! Yang ada dibuat emosi sama dia."

"Mana berani Pak Valdo bikin kamu emosi. Dia bentak kamu aja nyeseknya berminggu-minggu."

Alin diam saja. Kalau Nisa sudah mengajaknya bicara, pasti tidak ada ujungnya. Jadi lebih baik sekarang ia segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa tidur pulas nanti malam.

"Ohiya, tadi aku makan siang sama rombongannya Ilham dong." Kata Nisa sambil tangannya mengetikkan sesuatu diatas keyboard.

Secepat kilat Alin menoleh. Persetan pada naskah-naskah yang terbengkalai belum ia edit, kalau sudah ada yang membicarakan soal Ilham, ia harus menyahutinya. "Serius?"

Nisa tersenyum dan mengangguk bangga. "Kenalan sama Ilham juga."

"Terus, dia ada nanyain aku nggak?" Dengan percaya dirinya ia bertanya.

Sebelum menjawab, Nisa melirik sok jijik kearah Alin. "Siapa kamu? Nggak guna nanyain kamu."

"Ooh... Kirain. Soalnya tadi waktu istirahat Mas Ilham ke ruangan Pak Rivaldo."

"Ngapain?"

Sebagai jawaban Alin mengangkat bahu. "Waktu ditanya ada apa, dia malah jawab salah ruangan. Aneh." Katanya.

***

"Kayaknya besok gue nggak usah bawa motor deh." Ucap Alin pada diri sendiri sambil matanya menatap mobil Ilham yang kini memasuki area rumah pria itu.

Alin menstandar motornya dan berdiri masih dengan memantau Ilham dari pekarangan rumahnya. "Berangkat, bareng. Pulang, bareng. Kita juga sekarang sekantor. Ngapain gue bawa motor? Mending berangkat bareng Mas Ilham." Katanya, seolah-olah Ilham sudi saja menebenginya setiap hari.

Terlihat dari kejauhan, Ilham tengah menatap kearahnya. Segera Alin membalas dengan lambaian tangan dan tak lupa memberi pria itu senyuman manis. Tapi Ilham sepertinya abai saja, karena setelahnya dia segera masuk rumah.

"Tumben pulangnya agak sorean, Mbak?" Nawang bertanya ketika melihat Alin melintas di sampingnya.

Melihat sang Mama, ia ikut gabung duduk disebelah Nawang yang tengah menyuapi Citra memakan bubur. "Tadi ada briefing sebentar sebelum pulang. Jadi agak telat." Jawabnya sambil menjahili Citra dengan menaikkan satu kakinya di meja yang tengah Citra gunakan untuk bermain laptop.

Your My LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang