D u a p u l u h s a t u

2.6K 285 33
                                    

Ini hari ketiga Alin tidak menampakkan diri di kantor, semenjak Mas Ilham-nya mengikat Sania dengan sebuah cincin dihadapan para saksi. Oh tidak, tentu saja dia bukan lagi 'Mas Ilham-nya' melainkan seorang pria bajingan yang sialannya Alin cintai sejak pertemuan pertama mereka.

Oh, tidak-tidak! Alin tidak boleh mengingat itu. Bukan hanya menyakitkan, tapi juga membuatnya semakin keki para pria bernama Ilham itu.

Seiring berjalannya waktu tiga hari belakangan ini, Alin mulai menyesali hatinya yang sangat-sangat bodoh sekali. Bisa-bisanya ia mencintai seseorang yang jelas-jelas tidak pernah menganggapnya ada. Dan alangkah bodohnya ia bahkan masih mencintai Ilham sampai detik ini, walau rasa menyesal dan benci terus saja ia ucapkan dalam hati. Tapi hatinya yang paling dalam justru masih memiliki rasa pada pria sialan itu.

Mungkin ini yang dinamakan gagal move-on. Gamon. Dan rasanya sangat tidak nyaman. Ada rasa benci yang berdominan dengan rasa cinta. Membingungkan, bukan? Yaaah, begitulah cinta. Selalu membuat seseorang bingung dan gila mendadak.

Kini ia benar-benar seperti manusia yang sudah tidak memiliki semangat hidup. Tiga hari belakangan ia memang tidak menampakkan diri di kantor, tapi dari rumah ia selalu berangkat pagi-pagi dan itu bukan untuk ke kantor melainkan ke restoran Ayahnya. Ini gila kan? Ya, Alin sudah gila.

Seperti pagi menjelang siang ini, Alin hanya duduk termenung memandangi Fahmi dan para karyawan lain tengah disibukkan oleh pekerjaan masing-masing.  Kegiatannya di restoran hanya duduk termenung saja. Dan setiap kali Fahmi mengajaknya bicara, Alin selalu menggelengkan kepala atau sekedar bilang 'lagi puasa ngomong'. Lalu Fahmi hanya akan menghela napas dan tidak lagi mengganggu lamunan Alin.

***

Sedang suasana di kantor Kembang Publisher, Rivaldo tengah mondar-mandir didepan meja kerjanya sendiri. Entah apa yang membuatnya seperti orang bodoh, yang jelas otaknya tengah berpikir keras mengapa Alin tidak berangkat ke kantor selama tiga hari berturut-turut.

Rivaldo jelas tahu Alin tidak berangkat. Dua hari ini ia berkunjung ke Kembang Publisher dan ruangan pertama yang dirinya masuki adalah ruang editor romance. Awalnya Rivaldo biasa saja saat melihat meja kerja Alin nampak kosong tak berpenghuni. Tapi saat esok paginya lagi ia kembali ke ruangan tersebut, Alin masih tetap tak terlihat disana.

Saat Rivaldo bertanya pada Nisa, kenapa Alin tidak berangkat ke kantor, wanita itu justru menggeleng tak tahu. Juga, Nisa bilang bahwa Alin tidak masuk kantor selama tiga hari berturut-turut, tentu saja Rivaldo terkejut. Ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Tidak masuk kantor selama tiga hari berturut-turut tanpa keterangan, harus menghadap dirinya. Ini kantor, bukan sekolahan yang dengan seenaknya bolos tiap hari tanpa ada sanksi berat.

Berhenti mondar-mandir, Rivaldo kembali duduk di kursi kerjanya dan mengambil gawai di meja kerja. Sedikit menurunkan ego, kini Rivaldo mencoba untuk menghubungi nomor Alin yang dirinya dapat dengan cara anti mainstream.

Panggilan pertama, operator bilang nomor yang Rivaldo tuju sedang tidak aktif. Sampai panggilan ketiga, operator selalu yang menjawab dengan jawaban sama. Baiklah. Jadi benar apa kata Nisa, nomor Alin tidak bisa dihubungi. Mungkin Alin sengaja mematikan ponsel agar tidak ada orang kantor yang mengganggunya. Pintar sekali wanita itu, pikir Rivaldo.

Meletakkan gawai, Rivaldo beralih menggunakan telepon kantor untuk menghubungi sekretarisnya. "Tolong carikan alamat rumah karyawan bernama Alin dari editor romance." Perintahnya.

***

Sepertinya kesabaran Fahmi sudah diambang ubun-ubun. Sore hari, setelah meminta tolong pada Cheff lain untuk menghandle pekerjaannya, Fahmi kini menarik paksa tangan Alin dan membawa adik besarnya ini keluar dari restoran. Tentu saja Alin tak melolak, ia hanya diam saja diseret sana-sini.

Your My LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang