Alin merebahkan tubuhnya diatas ranjang dengan senyum yang terus mengembang. Setelah tadi ia berhasil pulang diantar oleh Ilham, entah kenapa hatinya berbunga-bunga bahagia.
Kalian ingin tau apa yang membuatnya sebahagia ini?
Alin baru saja di notice oleh Ilham. Tadi, sebelum akhirnya Alin memasuki pagar rumahnya, ia sempat memaksa Ilham untuk mengobrol sedikit. Kesempatan itu ia gunakan untuk meminta permintaan aneh.
"Mas, aku boleh minta tolong nggak?"
"Apa?"
"Tolong jangan terlalu dekat sama Niki. Boleh?" pintanya.
Bukan lagi terkejut, karena Ilham sudah biasa dengan perkataan Alin yang aneh bin absurd. Lelaki jangkung itu hanya menaikkan kedua alisnya menanggapi permintaan Alin.
"Soalnya aku sakit kalo Mas Ilham dekat-dekat Niki." Alin memberitahu alasan permintaannya.
Yang dibalas dengan deheman pendek oleh Ilham, "Hmm." hanya itu lalu lelaki itu pergi meninggalkan Alin.
Hanya dibalas deheman namun efeknya sangat luar biasa bagi tubuh Alin. Wanita bar-bar ini bahkan kini menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut dan berteriak kencang memanggil nama Ilham. Sungguh, ini lebih dari sekedar bucin. Ini bucin akut, kronis dan harus segera disembuhkan.
***
"Mau kemana, Mbak?" tanya Nawang ketika melihat Alin berjalan melewatinya yang sedang menonton televisi.
"Ke resto, Ma."
"Ke resto mulu alasannya."
"Emang mau ke resto, Ma. Kemarin kan nggak jadi, terus sebagai gantinya hari ini aku mau kesana. Kuncinya mana, Ma?"
Nawang menyerahkan kunci mobil pada Alin. Ia memang selalu menyimpan kunci mobil walau dirinya tidak bisa mengendarai. Itu karena perintah Baginda Raja Arsan yang memintanya untuk selalu menyimpan kunci mobil dan tidak boleh sembarang menyerahkan kunci mobil pada Alin, jika tujuannya tidak jelas.
"Bener nih ke resto?" tanya Nawang sekali lagi.
Alin menghela napas dan menjawab malas pertanyaan Mamanya, "Kalo nggak percaya nanti Mama tanya ke Mas Fahmi atau Mbak Tut deh." lantas ia berlalu dari hadapan Mamanya.
"PULANGNYA JEMPUT CITRA, MBAAAK..." teriak Nawang.
"IYA.."
Sebenarnya malas sekali jika harus mendapat perintah untuk menjemput atau mengantar Citra ke sekolah. Lagi, ia malas juga jika melihat tampang sok Korea adik bungsunya itu. Jangankan tampang, jika suara Citra sudah keluar saja mampu membuat Alin malas.
Tapi, baiklah kali ini ia akan menjemput Citra tanpa banyak cincong. Yang terpenting sekarang adalah ia harus segera tiba di resto dan temu kangen bersama Mbak Tut serta Mas Fahmi.
Tiba di restoran yang katanya didirikan oleh Ayah dan Bundanya itu, Alin segera memasukinya. Resepsionis menyapanya dengan sopan. Alin balas tersenyum dan mengangguk. Restoran terlihat ramai karena sekarang jam istirahat hampir tiba.
Memasuki dapur, dilihatnya Mbak Tut tengah menata makanan diatas nampan. Sedang Fahmi sibuk dengan kreasi makanannya diatas kompor menyala.
"Mbak Tut..." teriaknya menggema keseluruh dapur.
Yang dipanggil langsung menoleh dan menyambut kedatangan Alin dengan merentangkan kedua tangan, bersiap untuk Alin peluk. Keduanya saling berpelukan, muter-muter sambil kakinya jingkrak-jingkrak.
"Itu kepala nggak keliyengan muter-muter mulu?" Fahmi menghampiri keduanya.
Mendapat teguran, akhirnya dengan berat hati Alin menyudahi acara pelukannya dengan Mbak Tut yang sebenarnya bernama Tuti namun Alin lebih suka memanggilnya Tut ketimbang Tuti. Menurutnya, Tut lebih lucu.