S e m b i l a n

2.7K 245 27
                                    

Sembari menunggu kabar dari Kembang Publisher mengenai surat lamaran pekerjaannya, Alin menyibukkan diri dengan membantu restoran cabang Jakarta yang beberapa Minggu lalu ditinggal oleh Mbak Tut. Alhasil, satu waiters disana berkurang satu.

Siang ini, Alin berpenampilan sama seperti karyawan restoran milik ayahnya. Ia mencoba untuk membantu pekerjaan waiters yang terlihat kuwalahan melayani para konsumen.

Sebenarnya Minggu lalu ayahnya sudah merekrut satu pekerja baru untuk bagian waiters, tapi ternyata dia tidak bisa diandalkan. Dengan tanpa memberitahu atau sekedar memberi pesan lewat SMS, gadis lulusan SMA itu pergi meninggalkan pekerjaannya begitu saja.

Dan sampai sekarang satu posisi waiters masih belum ada yang mengisi. Disini tidak butuh karyawan yang berpenampilan menarik atau cantik. Tidak. Yang dibutuhkan hanya skill dan kegesitan saat bekerja. Untuk penampilan, rapi saja sudah cukup.

Langkah Alin tak pernah lelah bolak-balik mengantar menu pesanan konsumen. Juga beberapa kali harus membersihkan meja makan yang sudah kosong.

Fahmi yang tengah memasak sembari mengamati pergerakan Alin bahkan takjub pada wanita itu. Ini kali pertamanya ia melihat Alin melakukan pekerjaan berat. Dan ternyata anak atasannya itu bisa, bahkan sepertinya Alin tidak merasa keberatan saat menjalaninya.

"Kamu nggak capek Lin? Bolak-balik dari tadi, beresin meja juga. Mending kamu suruh orang kasir buat jadi waiters aja terus kamu gantiin di kasir." Ujar Fahmi saat melihat Alin keluar dari toilet dan tengah memasang apron kembali ke badannya.

Alin menoleh pada pemilik suara. "Nggak ah. Biasa aja. Mas Fahmi belum tau aja aku dirumah bantuin Mama kayak kerja rodi. Kalo cuma jadi waiters aja mah masalah kecil." Sahutnya sambil menjentikkan jari.

Suara itu mengundang Fahmi untuk terkekeh. "Yaudah, terserah kamu aja. Yang penting kalo capek jangan ngadu ke Boss."

"Ya nggak lah! Paling nanti minta di pijitin, hehehe." Alin mengering saat melihat Fahmi melototkan mata. Ia segera berlalu untuk kembali melayani pelanggan.

Restorannya masih ramai pengunjung. Kebanyakan dari pada karyawan kantoran yang memilih untuk makan diluar karena bosan dengan menu makan kantin kantor, mungkin.

Pukul dua, Alin akhirnya berhasil menyelesaikan pekerjaannya bersama tim. Kini ia sudah mengganti pakaian biasa dan bersiap untuk makan siang bersama Fahmi.

"Mas, aku mau curhat deh." Ujarnya ketika sudah duduk berhadapan dengan Fahmi dan bersiap menyantap makan siang.

"Curhat apa? Kerjaan? Emang yang di Kembang Publisher belum ada kabar?" Sahut Fahmi sekenanya karena ia tengah sibuk makan.

"Bukaan, bukan masalah kerja. Kalo itu sih belum ada kabar. Ini masalah Mas Ilham. Ih asli!"

"Kenapa? Kamu di tolak lagi ya?"

"Iyaaa.. kemarin kan ceritanya aku, bla bla bla.." Alin menceritakan semua kejadian kemarin. Ia juga memberitahu pada Fahmi bahwa dirinya merusak laptop sendiri hanya karena ambisinya yang ingin dekat dengan Ilham. Sungguh miris sekali bucin yang satu ini.

Fahmi bahkan sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Ini sudah diluar batas. "Mending kamu berhenti dari sekarang, Lin. Kamu udah tau dia nggak suka sama kamu tapi masih aja didekati. Itu sama aja kamu mencoba untuk menyakiti dan menyiksa diri sendiri." Jelas Fahmi. Sungguh ia ingin menyadarkan Alin dari cinta butanya itu.

"Nggak bisa Mas.. aku udah terlanjur nge-love sama dia." Rengek Alin. Bahkan ayam geprek di meja sudah tidak selera lagi ia makan.

"Coba kamu buka hati untuk pria lain. Mungkin itu akan mudah buat kamu bisa move on dari Ilham." Saran Fahmi. Dalam benak ia berharap pria yang nantinya akan memasuki hati Alin adalah dirinya. Yaaa Tuhan.. mencintai diam-diam ternyata rasanya tidak enak sekali. Selain harus bersabar juga harus tahu diri.

Your My LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang