"Ham, ayo pulang." Ajak Esa sambil menepuk rekan satu timnya itu.
Yang diajak justru masih saja sibuk dengan laptop, masih mengutak-atik pekerjaan, padahal jam kerja sudah berakhir lima menit lalu. "Lo pulang aja, gue mau beresin ini dulu." Jawabnya tanpa menatap si lawan bicara.
Paham Ilham adalah sosok workaholic maniak, Esa lantas menuruti perintah Ilham. Biarlah Ilham dengan dunianya sendiri. Temannya itu pasti tidak akan pulang sebelum pekerjaannya selesai.
Setelah Esa sudah benar-benar tidak terlihat lagi di ruangan yang sepi ini, Ilham lantas menyimpan data pekerjaannya dan mulai membereskan peralatan kerja. Ia sengaja mengulur waktu agar tidak seperti menunggu seseorang.
Dan Alin adalah alasan mengapa dirinya harus bersikap seperti ini. Ya, ia menunggu Alin. Tentu. Wanita itu berangkat bersamanya pagi tadi, jadi pulang pun juga harus sama-sama, bukan?
"Hah! Mana sih dia? Masa gue harus nyamperin ke ruangannya?" Kesalnya dengan posisi masih duduk di kursi kubikel.
"Apa gue telpon aja ya?" Tanyanya pada diri sendiri.
Akhirnya ia memilih untuk menghubungi Alin. Ya, lebih baik telpon saja dulu, daripada menghampiri ke ruangan wanita itu yang pasti akan berdampak tidak baik pada kebucinan Alin.
Dua kali Ilham mencoba menghubungi nomor Alin, namun selalu tidak ada jawaban. Bahkan sampai lima kali pun masih belum diangkat oleh si pemilik nomor. Andai Jika Alin ia tinggal begitu saja tidak akan berdampak menjadi masalah, pasti sudah ia tinggal wanita itu. Sayangnya, ia malas jika harus berdebat dengan sang Bunda karena telah meninggalkan anak tetangga kesayangannya itu.
Terpaksa. Bahkan dengan sangat terpaksa ia mengayunkan kakinya menuju ruang kerja Alin.
"Permisi..." Sapanya setelah masuk ke ruang divisi tempat Alin bekerja. Disana masih ada empat karyawan yang belum juga beranjak dari duduknya padahal jam kerja sudah lama berakhir.
Semua pasang mata menoleh ke sumber suara kecuali Nisa. "Cari siapa ya, Mas?"
"Alin." Ucap Ilham langsung sambil melangkah menghampiri kubikel Nisa agar bisa lebih jelas.
Mendengar nama sahabatnya disebut lantas Nisa ikut menoleh. Rupanya Ilham. "Eohh? Ilham? Kamu cari Alin?" Tanyanya tak percaya yang hanya dibalas dengan anggukan kecil dari Ilham.
"Tadi jam satuan dia ada tugas untuk disuruh ke rumah Pak Rivaldo. Terus sampai sekarang belum kembali. Kayaknya sih sekalian pulang." Jelas Nisa.
Tugas kerumah Pak Rivaldo? Untuk apa? Ilham menautkan kedua alisnya. Ia merasa janggal dengan penjelasan Nisa. "Bisa tolong telponin dia?" Pintanya.
Nisa mengangguk. "Boleh. Tapi dia kayaknya tadi pagi nggak bawa hape." Katanya sembari mencoba menghubungi nomor Alin, "kalau ini diangkat berarti Alin udah pulang." Lanjutnya.
Panggilan pertama gagal. Nisa mencoba untuk kedua kalinya. Namun tetap tidak diangkat. "Kayaknya dia belum pulang deh, Ham."
Sekalinya ngerepotin tetap akan selalu ngerepotin. Ilham menghembuskan napas kesal. Setelah berterimakasih pada Nisa ia bergegas pulang. Ia tinggalkan saja Alin yang keberadaannya entah dimana.
Dirumah Rivaldo, Alin tengah dibuat khawatir karena suhu tubuh Rivaldo yang tiba-tiba saja demam. Padahal sore tadi tubuh pria itu bereaksi biasa saja. Menjelang malam, entah kenapa menjadi demam tanpa sebab.
"Kita ke rumah sakit aja ya Pak?" Ajaknya untuk kesekian kali.
Dan jawaban Rivaldo tetap sama. Menggelengkan kepala. Sudah berkali-kali Alin mengompres dahi Rivaldo tapi sepertinya tindakan itu sia-sia.