"Sudah hubungi orang rumah?" Tanya Fahmi pada Alin yang tengah sibuk membantu Nisa menyiapkan makan malam mereka.
Alin memutuskan untuk menginap di rumah Fahmi lantaran Nisa yang tak mengizinkannya untuk pulang, karena takut terjadi apa-apa. Padahal ia sudah biasa pulang sendirian dalam gelapnya malam. Tapi, ya sudahlah kalau Nisa memaksa. Toh, ia juga malas kalau harus pulang. Lebih baik dirumah Fahmi dan bebas dari suara panas si adik bungsunya.
"Udah aku WhatsApp." Jawabnya melirik Fahmi yang rupanya sudah duduk di kursi meja makan dan memperhatikan Nisa mengulek sambal.
Bibir Alin mengukir senyum tipis sambil memperhatikan Fahmi dan Nisa bergantian. Dalam hati ia membanggakan diri sendiri karena sudah berhasil mempersatukan keduanya. Ahh... Mereka sangat cocok. Memang ya, kalau jodoh tidak akan kemana.
"Ini sayur buatan aku ya, tolong jangan di kritik. Saran boleh, tapi jangan pedas-pedas." Ujar Alin meletakkan sayur buatannya di meja makan.
"Kritik kan juga perlu." Balas Fahmi.
"Nggak menerima kritik. Lagian, kenapa yang masak nggak Mas Fahmi aja sih? Kan yang biasa masak Ms Fahmi!"
Selesai membuat sambal kesukaan Fahmi, Nisa memindahkan sambal itu ke mangkuk kecil sembari mendengarkan ocehan Alin yang tak terima kenapa tidak Fahmi saja yang memasak. Tapi ia tak mendengar balasan Fahmi lagi dan saat ia berbalik badan rupanya Fahmi tengah menyentil dahi Alin beberapa kali. Membuat kepala Nisa geleng-geleng dengan tingkah keduanya.
"Aww! Udah dong, sakit tau! Mbakk.... Mbak Nisa! Ish!"
"Lagian kamu kalau ngomong suka banget bikin naik darah. Mas Fahmi kan pasti capek pulang kerja, jadi aku yang masak. Toh aku kan istrinya." Sebagai istri yang baik hati dan tidak sombong serta rajin menabung, Nisa ikut memprotes ucapan Alin.
"Mbak Nisa juga kerja." Sangkal Alin masih tak mau kalah. Bukan Alin namanya kalau masalah sekecil pasir tidak dibesar-besarkan.
Masih saja. Fahmi dan Nisa saling pandang. "Anak bos kamu enaknya diapain, Bi? Mumpung nggak ada orangtuanya." Tanya Nisa pada Fahmi.
"Nggak usah kasih sambal buatan kamu." Lantas Fahmi meraih mangkuk kecil ditangan Nisa.
"Ih! Kok gitu?! Aku kan juga mau." Protes Alin. Ia tahu betul rasa sambal buatan Nisa. Sangat mantap! Apalagi kalau dicocol nasi hangat, maka masakan Cheff Fahmi pun akan lewat.
Kepala Nisa geleng-geleng. Manusia sejenis Alin kok bisa-bisanya ditaksir sama seorang Rivaldo Hendriksen. Sepertinya Rivaldo akan kena mental jika benar-benar menikahi Alin. Tingkahnya yang masih kekanak-kanakan membuat Nisa ragu kalau Alin sudah memasuki masa pubertas apa belum sebenarnya.
"Kasih ngapa, masih banyak juga sambalnya." Nisa jadi tidak tega pada Alin.
Akhirnya Fahmi memberi setengah sendok sambal saja. Membuat Alin kembali merajuk namun segera di lerai oleh Nisa dengan menhambil alih mangkuk sambal ditangan Fahmi dan membagi sambalnya sama rata pada Alin dan suaminya. Sekarang ia jadi seperti Ibu yang mengurusi anak manjanya.
Ketiganya makan penuh khikmad. Selesai makan malam, Nisa mengajak Alin menonton televisi di ruang tengah, sedang Fahmi akan keluar sebentar untuk menghadiri acara rapat para warga setempat.
Sedari tadi Alin terus saja bolak-balik menu kemudian membuka WhatsApp lalu menutupnya kembali. Biasanya malam begini nomor Rivaldo sudah menerornya dengan pesan-pesan pria itu. Tapi entah kenapa malam ini pria itu terlihat sunyi. Tak ada satupun pesan dari Rivaldo.
Terdengar alarm tanda bahaya membuat Alin terdiam dan menautkan kedua alisnya. Tunggu dulu. Kenapa ia jadi menanti pesan pria itu? Ada apa dengan dirinya? Bukankah hal semacam ini yang ia inginkan? Tidak mendapat pesan dari Rivaldo dan ia seharusnya merasa senang juga tenang karena tidak ada yang menggangu.