Tangis Alin semakin pecah ketika langkahnya tiba di rumah dan mendapati sang Mama berdiri disana. Segera Alin berlari bak anak kecil yang seharian ditinggal oleh Ibunya secara diam-diam. Dipeluknya erat-erat tubuh Nawang sambil mulutnya tak henti menangis dan mata mengeluarkan air.
Walau terbingung-bingung, Nawang balas memeluk Alin sambil melempar pandang pada Nisa, seolah bertanya ada apa ini sebenarnya?
Nisa yang melihat kejadian itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir. Iya. Alin yang dirinya kenal sebagai wanita kuat tapi bucin akut ternyata jika sudah menangis, akan lebih parah dari tangisan bayi. "Anak Tante habis kena marah sama si Bos besar." Ujar Nisa sambil menahan tawa, karena suara tangis Alin yang sama persis seperti tikus kejepit.
Nawang menunduk melihat wajah sang putri. "Kamu bikin masalah, ya?" Tanyanya sedikit menggunakan nada tinggi.
Tangis Alin justru semakin mengeras, "HUAAAAA...."
Malas mendengar suara tangis Alin, Nawang memilih mengajak anak sulungnya ini ke ruang tengah dan mendudukkan tubuhnya di sofa. Kini tangis Alin sudah mulai mereda.
"Sekarang bisa jelaskan masalahnya ke Mama?" Tanya Nawang.
Bola mata Alin melirik sekilas pada sosok Nisa yang justru tak acuh dan sibuk bermain-main dengan kuku panjangnya yang hari ini diwarnai merah cerah. Alin sebenarnya sedikit keki pada sahabatnya itu. Alih-alih membantu memberi penjelasan, Nisa justru jadi tak berguna disini.
"Mbak? Tadi Mama minta jelaskan, lhoh."
Alin terkesiap. Segera ia tatap sang Mama dengan mimik wajah yang ia buat semengenaskan mungkin. Lantas bibirnya mulai mengalirkan kronologi kejadian saat di kantor.
"Ya jelaslah Bos besar kamu marah! Kesalahan kamu itu fatal banget. Apalagi penulis yang kamu tangani naskahnya adalah penulis andalah penerbit itu." Komentar Nawang setelah Alin menyelesaikan ceritanya.
"Iya-iya aku ngaku salah."
"Makanya lain kali kalau kerja harus konsentrasi, jangan mikirin yang lain. Harus fokus."
Alin mendengus pasrah mendengar tuturan Mamanya yang sok tahu. Padahal setiap kali mengedit naskah, ia selalu fokus. Fokus pada isi naskah, membaca seteliti mungkin sampai-sampai ya... Ia lupa memperbaiki setiap typo yang ada di naskah tersebut.
"Terus sekarang gimana? Pasti kamu udah dipecat tanpa pesangon kan?"
Bola mata Alin memutar jengah. Dipecat tanpa pesangon? Alin sungguh menginginkan hal itu terjadi. Tidak apa-apa ia dipecat tanpa pesangon, yang penting ia sudah lepas dari Kembang Publisher. Tapi sayangnya hal itu sulit untuk ia dapat. "Eummm... Mama ada uang 1M?" Tanyanya hati-hati.
Tapi justru dibalas jitakan oleh Nawang disambung kalimat sinis. "1M gundulmu! Mama cuma ada uang sepuluh ribu, kembalian beli rawit tadi pagi. Lagian mau buat apa uang sebanyak itu?"
Nisa cekikikan melihat peraduan antara anak dan Ibu. Ia akan menceritakan hal ini pada Fahmi, pasti pria itu akan tertawa terbahak-bahak.
Sambil mengelus kepala yang barusan dijitak Mamanya sendiri, Alin menjawab. "Ganti rugi sama bayar denda resign sekalian." Lantas bola matanya berputar dengan otak mencari solusi, "Ayah pasti punya." Lanjutnya.
"Iya, Ayah pasti punya uang sebanyak itu tapi nggak akan ngasih pinjam ke kamu."
"Kenapa? Aku kan anaknya! Jangankan pinjam uang, minta aja sebenarnya aku bisa!"
Alin dengan segala keberaniannya pada seseorang yang lebih tua. Baiklah. Nawang yang memang sudah kebal pada setiap jawaban-jawaban songong Alin kini berusaha menenangkan diri sendiri agar emosinya tak meluap detik ini. Daripada meluapkan emosi, Nawang memilih mengelus bahu Alin dan berbicara lembut padanya. "Mbak, kamu kan sudah besar, sudah dewasa. Belajarlah untuk bertanggung jawab atas kesalahan sendiri."
![](https://img.wattpad.com/cover/198314538-288-k990827.jpg)