"Pantesan tunangannya pada kabur, orang dia aja hobinya jajan diluar. Mana suka cipok-cipok anak orang sembarangan lagi!"
Ini sudah keseratus kali Alin mendumel sambil matanya fokus pada layar laptop yang menampilkan beberapa artikel mengenai perjalanan cinta pengusaha muda sukses bernama Rivaldo Hendriksen.
Dari sederet artikel, semuanya berisi tentang Rivaldo yang selalu ditinggal begitu saja oleh pacar atau bahkan tunangan pria itu.
Bukan reaksi kaget yang Alin keluarkan setelah membaca lebih jauh tentang artikel tersebut, namun hanya gelengan kepala. Alin tidak heran lagi setelah membaca artikel itu setelah beberapa hari lalu Rivaldo menciumnya tanpa izin. Alin pikir pria itu pantas mendapatkan perjalanan cinta yang mengenaskan.
Dimalam Minggu yang sunyi ini, Alin menyibukkan diri mencari informasi tentang Rivaldo. Bukan apa-apa, ia hanya penasaran saja seperti apa orang-orang menilai dan memahami seorang Rivaldo. Namun ternyata semuanya salah. Dari beberapa artikel menuliskan bahwa pria berusia 32 tersebut memiliki sifat lemah lembut, santai dan profesional dalam bekerja.
Iya, santai. Menurut Alin, Rivaldo tidak santai. Hanya pakaian pria itu saja yang terlihat santai saat mengunjungi kantor.
Mulai malas membaca artikel yang semuanya tentang Rivaldo, kini Alin memilih menutup laptop dan bergegas untuk mengistirahatkan diri. Ia harus istirahat karena besok akan menemani Tante Irma dan Ilham mengunjungi rumah baru pria itu. Lagi, Alin juga harus bangun pagi-pagi sekali untuk berbicara empat mata dengan Citra. Ia berniat untuk mengajak adiknya juga, karena tahu besok ada Sania yang ikut serta mengunjungi rumah baru Ilham. Tentu saja Alin tidak mau menjadi manusia asing disana yang hanya menonton keromantisan keduanya, jadi ia membawa Citra agar tidak terlihat bego nantinya. Setidaknya adiknya ini bisa diajak bicara disana.
Waktunya telah tiba. Alin sudah menyiapkan mental kuat untuk tidak baper dengan pasangan Ilham-Sania. Sembari menunggu Citra merapikan diri, Alin duduk menanti sang adik di ruang tenang. Tubuhnya sudah dibalut pakaian yang menurutnya paling bagus dari semua pakaian yang ada di lemarinya. Wajah Alin juga sudah dipoles oleh berbagai alat make-up. Hari ini Alin tampil totalitas, padahal hanya akan melihat-lihat rumah baru Ilham dan itu bukan acara penting. Tapi biarlah, bagi Alin apapun tentang Ilham adalah hal penting.
"Mbak, aku udah siap .."
Suara Citra membuat Alin melirikkan matanya pada pemilik suara. Dan, Wow. Siapakah gerangan yang menguncir rambut adiknya kpopersnya ini?
"Siapa sih yang nguncir rambut kamu? Kamu kan udah SMP dek, masa masih kuncir dua begitu! Nggak pantes .. mana nguncirnya besar satu pula!"
"OPPA AIDEN ...!!!" teriaknya menyebut seseorang yang menguncir rambutnya pagi ini.
Bola mata Alin memutar jengah. Ia menyesal sudah bertanya. Kini ia harus menenangkan sang adik, karena Ayah dan Mama mereka tidak ada dirumah sejak jam tujuh pagi. Entahlah, Alin juga tidak tahu kemana perginya kedua orangtuanya itu. Karena ketika ia keluar dari kamar, mereka sudah pergi tanpa pamit. Tapi Aiden bilang, mereka pergi ke Bandung dan akan pulang sore ini.
"Udah nggak usah nangis. Bagus kok bagusssss banget kuncirnya. Udah dong jangan nangis .. ayo ke rumah Tante Irma. Udah jam sembilan," ujarnya mendesak Citra agar berhenti menangis. "Nih ambil, donat kentang buat kamu." Alin menyerahkan paper bag berisi donat kentang yang sengaja ia bawa untuk Citra.
Akhirnya adik kecilnya ini bisa menghentikan tangisnya. Sambil melangkah menuju rumah Tante Irma yang ternyata sudah bersiap untuk berangkat, Citra tak henti-hentinya mengunyah donat. Jangan heran, adik bungsu Alin ini memang memiliki nafsu makan diatas rata-rata, bisa dilihat dari bobot tubuh Citra yang setiap Minggu selalu bertambah.