"Gimana?"
Alin menolehkan kepalanya pada Rivaldo. Gimana? Apa yang dimaksud 'gimana' oleh Rivaldo?
Sangsi pada satu kata yang Rivaldo lontarkan, Alin menyahut seadanya dengan nada ketus. "Apanya?"
Saat ini keduanya sudah berada di mobil setelah tadi berpamitan pada Rivaldi dan Elina. Sempat terjadi drama antara Ken dan Rivaldo. Anak sulung Rivaldi itu menolak untuk pamitan pada pamannya. Tapi untung saja Elina si Ibu muda mampu menaklukan anaknya yang rewel dengan mengiming-imingi mainan.
"Tertarik mengikuti jejak Elina, mengurus suami dan memiliki anak?"
Rivaldo kenapa sih? Pertanyaannya selalu menjurus ke masa depan. Apa sudah ngebet banget pengin nikah?
"Untuk saat ini belum." Tapi kalau sama Mas Ilham kayaknya aku tertarik. Lanjut Alin dalam hati.
"Oke. Sepertinya saya harus bekerja lebih keras lagi."
Terserah! Terserahmu, Mas! Alin abai saja dan seolah tak mendengar suara Rivaldo.
Setelah diam beberapa saat, Alin jadi teringat orang-orang kantor yang sempat melihatnya diseret-seret oleh Rivaldo. Cepat kilat ia menoleh ke si pemilik Kembang Publisher. "Pak?" Panggilnya.
Seperti biasa, Rivaldo akan cepat tanggap jika Alin yang memanggilnya. "Ada apa?"
"Saya boleh pulang langsung nggak? Kalau harus balik lagi ke kantor, saya malu. Kan tadi Bapak nyeret-nyeret saya kayak karung beras."
"Saya pastikan nggak ada yang membicarakan hal itu."
"Pasti ada lah!"
"Baiklah kalau kamu mau pulang." Rivaldo menuruti permintaan Alin. Padahal sudah ia katakan tidak akan ada yang berani membicarakan soal ini. Karena ia sudah membungkam para karyawannya dengan ancaman pemecatan.
Mobil Rivaldo berhenti tepat di depan rumah Alin.
"Bapak nggak usah mampir ya?"
"Kenapa?"
"Saya ngantuk, mau tidur. Makasih untuk tumpangannya. Saya permi——"
Sebelum Alin berhasil keluar, Rivaldo sudah lebih dulu mencekal lengan Alin. "Saya nggak akan mampir, tapi besok kamu harus mau saya jemput."
"Nggak bisa, Pak. Saya udah ada janji sama mas-mas jaket Ijo." Tolak Alin.
"Atau motor kamu akan saya buang." Ancam Rivaldo, mengingat motor Alin pasti ada di kantor.
"Jangan! Bapak kok tega sih? Iya-iya, besok saya mau." Terpaksa menuruti kemauan Rivaldo, daripada harus mengganti motor yang pastinya akan lebih rumit lagi masalahnya.
Belum puas dengan respon Alin, Rivaldo menarik lengan Alin membuat wanita itu kembali duduk seperti semula. Tubuh Rivaldo mendekat, menatap lekat wajah Alin. Membuat wanita itu tak bisa berkutik sedikitpun.
"Marry me."
Astaga! Rivaldo melamarnya didepan rumah dan didalam mobil? Lamaran macam apa ini?
Alin menelan ludah kelat kemudian menggelengkan kepala lirih. "Ke-kenapa, kenapa harus saya?" Justru pertanyaan itu yang keluar dari mulutnya.
"Karena kamu sudah mengambil semua hati saya, Alin." Lantas Rivaldo menunjuk dadanya tanpa melepas tatapan, "disini, disini hanya ada kamu."
Tak kuasa menatap Rivaldo, Alin berdalih menatap dada Rivaldo.
Benarkah? Sebegitu parahnya pria ini? Alin pikir, hanya ia yang mampu mencintai sedalam lautan dan seluas samudra pada satu pria bernama Ilham. Alin pikir, hanya cintanya yang parah dan mengenaskan karena tak terbalaskan.