Duduk disebelah orang yang sedang dimabuk cinta itu sama saja seperti kamu menjadi obat nyamuk saat harus mengantar teman ketemuan sama pacar.
Entah setan apa yang saat ini menempel pada tubuh Nisa. Pasalnya wanita yang beberapa hari lalu baru di perikat oleh seorang Cheff itu tak pernah melepas senyuman manisnya dari bibir merah itu. Apalagi saat Nisa beberapa kali mengelus jemari manisnya yang diberi cincin pemberian Fahmi, senyumnya semakin melebar.
Alin yang melihatnya sampai ingin cepat-cepat jam istirahat tiba dan segera keluar dari ruangan ini agar tak melihat ekspresi aneh Nisa hari ini.
"Mbak, udah dong jangan senyum-senyum mulu ... Aku ngeri tau!" Protes Alin. Di dunia ini mungkin hanya Alin saja yang berani memprotes ora senyum. Padahal, senyum itu ibadah, begitu kata agama.
"Jomblo harap diam." Balas Nisa tanpa menoleh sedikitpun pada Alin dan justru sibuk mengelus cincin. Bahkan sepertinya Nisa seharian ini tidak mengedit naskah.
Mata Alin mendelik tak terima. Ia tidak jomblo! Hanya saja pasangannya dimasa depan saat ini tengah bersama hati yang lain. "Dasar bucin!" Balas Alin tak mau kalah.
"Masih mending jadi bucin ye, daripada jomblo. Udah jomblo, ngenes pula."
Ini bukan lelucon, tentu saja. Sehingga Alin membalasnya dengan suara sinis, "Baru juga dikasih cincin tunangan, bukan alat sholat yang dibayar tunai."
"Semua butuh proses kali .. tunggu aja dua bulan lagi, kita bakal nyebar undangan. Jangan lupa datang, ya. Amplop harus tebal, nggak tebal jangan makan banyak-banyak di prasmanan nanti."
Nah, ini baru namanya lelucon. Alin jelas tidak percaya dengan apa yang barusan Nisa katakan. Dua bulan lagi Nisa dan Fahmi akan menyebar undangan pernikahan? Yang benar saja! Tunangan saja baru kemarin-kemarin.
"Orang kalo kebanyakan makan peyek, halunya kebangetan ya."
"Oooh .. jadi kamu nggak percaya? Oke, nih aku buktiin!" Sambil mengulas senyum iblis, Nisa memainkan ponsel pintarnya untuk menghubungi nomor Fahmi.
"Hallo, Sayang? Kamu lagi sibuk nggak?" Nisa menyapa terang-terangan pada seseorang di seberang sana.
Alin melirik sinis sekaligus heran pada Nisa. Sayang? Sejak kapan Mas Fahmi-Nya mau dipanggil-panggil dengan sebutan alay itu?
"Ooh nggak terlalu sibuk, ya? Aku mau minta tolong sama kamu, nih. Ceritanya ada orang yang sirik sama hubungan kita, terus dia nggak percaya kalo kita dua bulan lagi mau ngadain pernikahan. Kamu bisa bantu aku buat dia percaya?" mata Nisa melirik lamat-lamat pada Alin sambil menahan tawa, "Oke, ini orangnya." Lanjutnya menyerahkan ponsel pada Alin. "Calon suami mau ngomong sama kamu." Katanya menyombongkan diri.
Bersungut-sungut Alin akhirnya menyerobot paksa ponsel Nisa dan menempelkannya di daun telinga. "Apa!" Ketusnya untuk menyapa Fahmi.
Ketika Fahmi tengah menjelaskan hubungannya dengan Nisa, Alin terpaksa mendengarkan secara seksama. Huh! Padahal ia tidak meminta Fahmi untuk menjelaskan kisah cintanya dengan Nisa. Sebenarnya ia tidak Sudi mendengarkan kisah cinta Nisa yang terdengar .. manis? Kalian lihat saja, mereka bahkan tidak saling kenal namun kini keduanya sudah memasuki tahap pertunangan dan sebenar lagi akan menaiki tahap pernikahan. Bukankah itu terdengar manis?
"Stop! Nggak usah dilanjutkan ceritanya! Langsung intinya aja, aku cuma mau tanya. Mas Fahmi sama Mbak Nisa beneran mau nikah dua bulan lagi?"
Matanya membulat sempurna kala mendengar Fahmi mengucap kata 'ya'. "Ja-jadi, jadi kalian beneran mau nikah? Jadi suami istri? Punya anak?"
"Nggak harus sedetail itu kali .." timpal Nisa.
"Diam!" Bentak Alin pada Nisa. "Mas Fahmi nggak khilaf kan ini? Mas Fahmi dalam keadaan sadar kan? Atau jangan-jangan ..." Mata Alin melirik horor pada Nisa, "Mbak Nisa main dukun-dukunan?" Tuduhnya.