Ferrari hitam Rivaldo terparkir di halaman parkir Rumah sakit. Pria itu melarikan diri ke parkiran motor dan mencari plat motor milik Alin yang sangat dirinya kenal. Tak terlalu sulit untuk mencari motor matic Alin, karena memang parkiran motor malam ini terlihat lenggang.
Rivaldo duduk di jok motor Alin, menanti si pemilik mengeluarkan batang hidungnya. Sembari menanti, ia keluarkan ponsel untuk membalas pesan seseorang.
Niat awal sebenarnya ia akan berkunjung ke rumah Alin, bermaksud meminta jawaban atas lamarannya dari perempuan itu. Tapi ketika memasuki gang rumah, ia melihat Alin mengendarai motor seorang diri bahkan tanpa helm. Jadi, daripada ke rumah Alin tanpa si tujuan berada di rumah, alhasil ia menghubungi Ayah Alin untuk menanyakan akan kemana perginya Alin malam-malam begini.
Dan disinilah dirinya berada. Menunggu Alin selesai membesuk Ilham. Rivaldo tak habis pikir dengan perempuan itu. Sudah berbagai luka yang Ilham torehkan tapi tetap saja masih peduli tentang Ilham. Sedang dirinya yang memperjuangkan cintanya, masih digantung status dari perempuan itu.
Nasib menyukai cewek sinting memang begini. Harus sabar menanti buah hasil jerih payah.
Sudahlah, Rivaldo jadi kasihan pada dirinya sendiri. Ia tekadkan hati untuk tetap maju, karena ia tahu untuk mendapatkan cinta maka perjuangan harus ia lakukan.
Rivaldo memasukkan kembali ponsel canggihnya di saku celana jins yang malam ini ia kenakan. Kepalanya menatap kedepan dan saat itu pula ia melihat sosok Alin.
Mata Rivaldo menyipit tak percaya. Itu Alin kan? Perempuan yang tengah berjalan kearahnya dengan tubuh dibalut Hoodie hitam dan celana training berwarna merah cerah.
Sosok itu semakin mendekat dan Rivaldo kini bisa melihat jelas wajah Alin. Oh, ternyata benar. Alin. Raut muka perempuan itu nampak tak bersahabat. Apalagi ini? Apa dia mendapat penolakan lagi dari Ilham? Tangan Rivaldo siap menonjok wajah Ilham saat ini juga.
"Hai." Sapanya.
Alin tak kaget dengan kehadiran Rivaldo. Ia tahu pria itu ada disini karena Ayahnya mengiriminya pesan bahwa Rivaldo tengah menyusulnya. "Maaf lama."
Kedua tangan Rivaldo sudah bertengger di bahu Alin. "Ada apa? Muka kamu sepet banget."
"Nggak. Nggak apa-apa."
"Si brengsek bikin ulah lagi?"
Yang dimaksud si brengsek oleh Rivaldo adalah Ilham. Alin tahu itu. "Nggak, Pak. Ini bukan karena dia."
"Lalu?"
Kepala Alin melirik kanan dan kiri dan menatap Rivaldo lagi. "Bapak serius membiarkan saya curhat di parkiran begini?"
Rivaldo melepas napasnya. Iya juga yah. "Yaudah, ayo ke mobil. Motor kamu biar sopir saya yang bawa."
Alin mengangguk. Selalu ada cara gampang jika bersama Rivaldo. Karena uang, pria itu bisa melakukan segalanya. Tapi tidak untuk cinta Alin. Cintanya tak bisa dibayar dengan uang.
"Bapak mau ajak saya kemana?" Tanya Alin ketika mobil Rivaldo mulai melaju.
"Tempat yang cocok untuk curhat." Balas pria itu.
Dan yang dimaksud tempat yang cocok untuk curhat adalah taman. Alin pikir Rivaldo akan membawanya ke rumah pria itu. Menikmati secangkir teh dimalam hari sembari menuangkan curhatannya, cocok kan?
"Jadi?" Rivaldo langsung meneror penjelasan pada Alin.
"Saya sudah tobat." Kata Alin.
Tobat? Selama mengenal Alin, Rivaldo pikir Alin tidak pernah berbuat hal musyrik. Mata Rivaldo menyipit seolah memberi kode pada Alin bahwa ia tak mengerti maksud tobat yang Alin katakan.
![](https://img.wattpad.com/cover/198314538-288-k990827.jpg)