30. Kiamat Hati

960 93 14
                                    

SUDAH kuduga, terlalu lama menangis kelak pasti akan memberiku efek yang lumayan terasa setelah pagi hariku tiba.

Selain seisi wajahku yang memerah dan beberapa bagian wajahku jadi sembab, pagi ini juga aku harus menerima kondisiku yang muntah-muntah sejak tadi. Aku memang tak nafsu untuk makan sedikit pun kemarin, sampai perutku rasanya teraduk-aduk tak tahu harus mengolah apa.

Dua gelas teh hangat buatan Kak Afif sudah habis melegakan perutku, sekarang dia sedang membuat yang ketiga. Aku duduk mengaduk ampasnya di kursi sembari merasakan kontraksi apa lagi yang akan kuterima setelah teh hangatku bekerja.

Satu panggilan masuk dari ponsel Kak Afif di samping lenganku kemudian bergetar tiba-tiba, ketengok nama yang memanggil, sukses membuat keringat dinginku rasanya bereaksi kembali.

Ayah.

“Kaaaak ... cepetan! Ayah nelfon. Kak Afif?!!” teriakku mengundang langkah bergegasnya mendatangiku dengan panik.

“Siapa? Ayah?”

“Udah cepetan, angkat. Loudspeaker!”

“Iya, iya. Bismillah,” ucap Kak Afif sebelum menggeser panel panggilannya lalu meletakkan kembali gawai tersebut di atas meja.

Kita berdua duduk berdampingan seperti sedang disidang Ayah langsung, kedua peganganku bahkan masih mengait di lengan Kak Afif ketakutan.

Assalamualaikum, Yah,”

“Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh.”

“Kenapa, Yah? Ayah baik-baik aja di sana?”

“Alhamdulillah. Kamu sama Sabilah gimana?”

Alhamdulillah, Yah,” jawab Kak Afif sembari menengok lagi kondisiku yang sangat kontras.

“Gimana kelanjutan kasusnya, kamu udah pikirin lagi?” tanya Ayah, membuat mataku rasanya kembali berkaca-kaca lagi.

Ayah belum puas memarahiku ternyata, padahal malam ini aku akan take off ke California untuk menunaikan tesku.

Bagaimana pun putusannya, aku tidak akan merelakan segala persiapanku. Maafkan aku karena harus egois, Yah.

Insya Allah, saya dan Sabilah sudah siap, Yah. Kita sudah pikirkan matang-matang, dan sekarang sudah jauh lebih tenang, Ayah dan Umi sudah tahu segalanya. Kita minta doa dari Ayah dan Umi, ya, doakan semoga keputusan ini menjadi pilihan terbaik kita,” ujar Kak Afif cukup panjang.

“Kamu datang lagi ke kantor kalau begitu, selesaikan pendaftaran yang belum selesai. Kata Wildan kalian langsung pulang kemarin. Kalau butuh bantuan apa-apa, panggil Ayah aja,” balas Ayah di sana.

Seketika deru napasku melamban dalam dada, aku dan Kak Afif saling bertukar pandangan tak menyangka. Ada angin apa ini? Apa yang sudah Umi katakan sampai Ayah kini lebih ikhlas menerima?

Ya Allah, Alhamdulillaaaah ...

Aku sama sekali tidak menyangka.

Satu yang menghancurkan segalanya, keadaanku yang sudah terlanjur begini tak bisa kuindahkan lagi. Perutku rasanya teraduk lagi yang mengharuskan aku cepat ke kamar mandi atau lantai akan kotor bekas muntahanku.

Kak Afif ikut lari menolongku, memijat bahuku yang membuatku sedikit lebih tertolong.

“Bi, aku anter ke rumah sakit, ya,” tawarnya setengah panik memijitku.

“Nggak usah, Kak, entar kalau sampai sana juga, pasti dokternya bilang cuman muntah biasa. Nanti kalau aku makan sedikit, pasti baikan kok,”

“Bi, seenggaknya kalau kamu ke rumah sakit ada yang jagain kamu dulu sampai aku selesai ngurus pendaftaran kasusnya bareng Ayah, kamu juga bisa jauh lebih baik kalau udah ketemu dokter langsung, kalau malam nanti kamu masih muntah-muntah gini, gimana bisa kamu take off?” terangnya.

WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang