LUPAKAN rencana liburan apa pun dalam waktu dekat yang Kak Afif janjikan. Dia membuatku sebal karena sebulan lebih jadwalnya tiba-tiba penuh mengurusi kerja samanya dengan perusahaan luar negeri.
Hal itu mengharuskan dia bolak-balik Indo-Singapore, tidak ingin pekerjaannya semakin terbengkalai sejak Mama meninggal dulu. Bahkan rapat ketika failed surprise-ku sedang kurancang, di kantor dia juga ternyata mendapat hantaman mental dari kolega tendernya yang meminta untuk segera bertindak atau mereka akan mengalihkan kerja samanya dengan yang lain.
Aku tak tahu apa-apa jika saja dia tidak memahamkan apa-apa lagi padaku!
Hari ini, kurang seminggu lagi jadwal penerbanganku menuju California akan terlaksana. Seharusnya dia di sini untuk menenangkan aku, aku berdebar setiap memikirkan tesku, setidaknya kan dia tidak menomorduakan aku ketika situasi seperti ini. Aku tuh selalu di bawah dari pekerjaannya. Selalu aku yang diminta bersabar sampai urusannya selesai.
Padahal kan, dia yang mestinya mengerti ... sebulan loh dia tak ada waktu untukku!
Sudahlah, aku saja yang merealisasikan liburan sendiri.
Monas saja, kan?
Aku tidak akan kenapa-kenapa di kandangku sendiri!
Bangunan putih menjulang dengan obor emasnya di atas sana kini telah menghangat di bawah sinar redup sore hari. Para keluarga maupun muda-mudi sana sini berkeliling dengan nada jepretannya mengisi layar dalam kamera mereka. Pasti seru deh, jalan sambil mengobrol begitu.
Sedangkan aku?
Datang sendiri, keliling sendiri, menunggu tawa lepasku saja yang urung kulakukan sendiri, takut pengunjung menganggapku orang dalam gangguan jiwa berkeliaran di sekitaran mereka.
Hampir satu jam aku duduk lesehan di pinggiran lapangan menyaksikan orang lalu lalang melintasiku. Jika saja ada Kak Afif di sampingku aku akan mengatakan padanya, ‘apa liburan seperti iniyang dia inginkan?’
Masih lebih menyenangkan sedikit usulanku yang dia tolak mentah-mentah dulu!
Tahu ah, aku lapar memikirkan dia!
Semoga Abang kerak telor langgananku masih di tempatnya yang dulu. Aku akan jatuh pingsan jika harus mencarinya di tempat yang lain lagi.
Yap, itu dia di sana.
Kupercepat langkahku menemui abang yang anaknya pernah berjualan dekat sekolah SMA-ku juga. Kemarin ketika aku datang ke sekolah mengurus transkrip nilaiku, anaknya sudah tidak di sana berjualan lagi, kudengar dia dibiayai oleh donatur sekolah untuk menyambung kembali pendidikannya.
“Assalamualaikum, Bang!” ucapku ramah.
“Waalaikumussalam. Mau pesen, Neng? Apa pengen nanya jalan keluar?”
“Yeh ... kerak telornya satu, Bang. Yang enak, ya, kalau nggak ... saya kasih bintang satu nih!” kataku mengancam seperti kepada anaknya dulu. Jika abangnya ngeh, dia pasti mengira aku masih anak di bangku SMA sekarang.
“Kuliah di mana sekarang, Neng?” tanyanya, sangat tidak sesuai prediksiku.
“Lah, kok Abang tahu saya udah lulus?”
“Tahulah. Anak saya seneng cerita, katanya di SMA Islamic dulu sempat ada penyembah makanan online suka jajan di gerobaknya. Selalu ngancem pake bintang satu, sekarang katanya udah lulus sih,” bebernya.
Wah!
Aku berkacak pinggang, seraya mendumel seperti ibu-ibu siap melabrak anak si Abang di depanku, “Enak aja tuh ya si Rafi, awas ketemu saya lagi, saya pites kutu anak itu! Diem-diem suka ngatain saya ternyata!”
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)
EspiritualRomance-a bit spiritual. Memilih menikah di usia 17 tahun mungkin menjadi putusan berat yang harus dijalani Sabilah. Impiannya menjadi seorang mahasiswa harus ditundanya meladeni Afif yang berusia sepuluh tahun di atasnya. Di hari pertama menapaki r...