BERHARI-HARI hidupku berlalu hampa, aku lebih banyak di dalam kamar menghabiskan waktu dengan jeritan tangis di balik ringkukan selimut.
Memasak tidak lagi kulakukan, membereskan rumah apalagi. Sudah cukup beban anak ini membuatku tak berdaya meninggalkan kamar sendiri. Bahkan, jika saja imanku tidak cukup menjadi alasanku untuk tetap hidup, mungkin saja sehari setelah kabar kehamilan ini kuketahui aku sudah terlilit dalam lubang tali gantung.
Apa gunanya hidup sekarang?
Untuk meratapi kenyataan bahwa dunia ini memang keras dan penuh ketidakadilan? Si kaya bisa berbuat sesukanya pada si miskin? Si kuat berkuasa menindas si lemah? Bahkan demi keinginannya pun, mereka rela mengorbankan mimpi anak-anak yang haus akan impian.
Seperti itulah bentuk keserakahan manusia terhadap manusia lain.
Mereka mengira hanya mereka yang hidup.
“Assalamualaikum, Bi. Kamu udah bangun?” sahut suaranya membuat telingaku mendadak pengang.
Lebih baik aku menatap langit-langit kamarku ketimbang harus menengoknya datang membuka pintu lalu duduk di bibir kasurku.
“Aku bawain bubur ayam, kamu dari tadi malam belum dihabisin makanannya. Kamu bisa sakit loh kalau nggak nafsu makan gini,” katanya mengundang sinis kebencianku kemudian.
“Kamu tuli, ya? Saya bilang saya nggak pengen liat muka kamu! Kenapa seenaknya datang?” ketusku.
“Bi, saya tahu kamu benci apa yang terjadi, waktu untuk berpisah harus tertunda lagi. Tapi, perlu kamu ingat, kamu membawa makhluk yang harus tumbuh. Setidaknya makanlah untuk dia,” katanya.
“Apa aku harus mengulang kalimatku lagi? Aku benci kehadiran kalian! Kalian tidak perlu memperdulikan aku, pedulikan saja kehidupan kalian!”
“Bi, kamu tidak hanya sedang membawa janin tak berguna, bersyukurlah bahwa kelak dia yang insya Allah akan memanggilmu umminya, menjadi kebahagiaan dalam keluargaku maupun keluargamu, dia yang sejak lama ditanyakan Ayah dan Umi, bukan? Berjuanglah sekali lagi, Bi ...” ucapnya kini meruntuhkan kembali air mataku.
“Egois! Kenapa takdir egois? Kenapa selalu berpihak kepada orang-orang selain aku? Aku capek! Aku pengen bahagia juga ... tapi kenapa justru kebahagiaan tidak pernah memilihku! Kenapa? Apa salah aku?”
Jeritanku semakin parau memohon keadilan. Bebaskanlah aku, walau hanya sedetik saja.
“Apa selama dengan saya, kamu nggak pernah benar-benar bahagia?”
“Enggak! Saya nggak pernah mengharapkan kamu, dan itu yang buat saya nggak bahagia!!!” jawabku tidak segan menyadarkan dirinya.
Dia selalu terlupa, bahwa dia datang dari masa mudaku yang terampas!
Dia yang membuatku ketakutan melirik kehidupan normal teman-temanku yang lain. Mereka bahkan sedang merajut masa depannya tanpa sempat berpikir menyia-nyiakan waktunya membahagiakan orang asing sebelum keluarganya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)
EspiritualRomance-a bit spiritual. Memilih menikah di usia 17 tahun mungkin menjadi putusan berat yang harus dijalani Sabilah. Impiannya menjadi seorang mahasiswa harus ditundanya meladeni Afif yang berusia sepuluh tahun di atasnya. Di hari pertama menapaki r...