2. Sahabat

76 15 7
                                    

Suara desis spatula beradu dengan wajan memenuhi area dapur. Seorang pemuda berseragam putih abu terlihat cekatan memasak makanan. Ia memilih menu simpel sebagai sarapan. Nasi goreng—sisa nasi semalam—beserta telur mata sapi dan sosis yang dipotong kecil.

"Wih, aromanya sedep banget. Rasanya pasti juga enak. Gue seporsi ya, Ga," celetuk seseorang.

Raga mendengus kesal. Ia tidak perlu berbalik badan untuk mengetahui siapa yang dengan kurang ajar memasuki rumahnya sembarangan. Suara khas yang terdengar ceria-memuakkan bagi Raga-hanya dimiliki oleh satu orang.

Aldo.

Walau enggan, Raga tetap menyiapkan dua piring di atas meja makan. Nasi itu tidak terlalu banyak, tetapi Aldo malah sengaja mengambil porsi besar, sehingga hanya menyisakan sedikit untuk Raga.

"Eh, telurnya buat gue aja deh. Keliatannya lo juga nggak selera," putus Aldo sepihak. Ia mengambil telur mata sapi dengan tampang tak berdosa. Mengabaikan ekspresi Raga yang seolah ingin memakannya hidup-hidup.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Raga dengan sinis.

Aldo mendongak dengan mulut yang terisi penuh oleh nasi. Raga mengernyit jijik melihat betapa berantakannya cara makan teman dekatnya itu. Namun, lagi-lagi Aldo memilih abai. Ia hanya berusaha menguyah dan menelan makanannya cepat.

"Nebeng. Motor gue di bengkel."

"Terus, gimana caranya lo ke sini?"

Aldo berdecak dan menatap Raga remeh. "Ojek online udah banyak, bego banget sih lo!"

"Lo yang bego! Seharusnya lo langsung ke sekolah, bukan numpang makan di rumah gue," sentak Raga.

"Terserah gue dong," balas Aldo tak kalah sengit.

Raga hanya mendengus pelan. Ia menghabiskan makanan yang memang hanya butuh lima suapan untuk bersih tak bersisa. Raga berdiri dan menaruh piring di tempat cucian tanpa membasuhnya.

Bukan hanya itu, Raga juga keluar dari dapur. Sedangkan Aldo masih menikmati nasi gorengnya dan tidak peduli dengan apa yang Raga lakukan. Bertepatan dengan habisnya makanan Aldo, Raga kembali sambil membawa perlengkapan P3K.

"Mana yang luka?"

Aldo tersenyum kecut. "Tau dari mana? Perasaan gue nggak ada ngeluh sakit sedikit pun."

Pemuda berbadan tinggi semampai itu hanya mengangkat bahu tak acuh. "Cepetan!" ketusnya kemudian.

Berdecak pelan, tetapi Aldo tetap membuka kancing seragamnya—ini masih terasa canggung walau bukan kali pertama. Memperlihatkan area bahu, dada dan perutnya yang lebam membiru. Beberapa sudah ada yang memudar dan sisanya masih terlihat seperti luka segar.

Dengan cekatan Raga membubuhi salep di permukaan kulit yang terluka dan memberikan obat pereda rasa sakit untuk Aldo minum. Pemuda itu menurut tanpa membantah. Ia tahu sekarang Raga marah. Terlihat ketika pemuda itu menggeram kesal. Aldo juga tahu apa yang akan Raga bicarakan setelah ini.

"Kalo nggak bisa lawan, minimal ngehindar. Lo pikir ngobatin gini nggak ngerepotin gue?"

"Gue nggak ..."

"Minta diobatin. I know. Tapi mau sampe kapan, lo nerima semua akibat dari hal yang bukan kesalahan lo?"

Aldo terdiam. Ia paham kekesalan Raga. Namun, Aldo selalu tak berdaya ketika sang ibu memukuli dirinya seperti ini. Setiap kali marah, wanita yang melahirkannya itu akan berkata kasar sekaligus menghantamnya dengan benda tumpul apa pun yang dekat dari jangkauan.

Alasannya, Aldo dilahirkan bukan karena keinginan melainkan kesalahan. Pria yang menghamili sang ibu enggan bertanggung jawab dan akibatnya wanita itu stres luar biasa ketika Aldo berada di dalam perutnya. Namun, seperti tak bisa diajak kerja sama, Aldo tetap sehat dalam kandungan hingga dilahirkan.

RagathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang