11. Traktiran

21 4 3
                                    

Dira berjalan menuju perpustakaan. Ia melangkah dengan mantap, tak disangka Aldo berdiri menghalangi jalannya. Dira mendongak, bertanya dengan sorot mata.

"Kenapa lo langsung cabut gitu aja? Ada banyak yang pengin gue tahu," ujar Aldo.

"Hah?" Dira sungguh tak mengerti.

Pemuda dengan seragam tak dimasukkan ke celana itu berdecak sebal. Satu tangan berkacak pinggang dan yang lain menunjuk Dira geram. "Lo lupa?"

Dira mengangguk tanpa dosa. Aldo memejamkan mata dan menarik panjang napasnya. "Oke, kalo gitu gue mau tahu pelet apa yang lo pake buat luluhin hati Raga."

"Enak aja! Gue nggak pake pelet!" bantah Dira.

"Terus, kenapa Raga punya simpati sama orang lain sekarang?"

"Mana gue tahu! Bukannya itu malah bagus?" tanya Dira balik.

"Ya, tapi mencurigakan."

Hening selama beberapa saat. Dira enggan memikirkan pertanyaan Aldo yang bahkan tidak bisa ia jawab. Kalau ia berlama-lama di sini, sudah dapat dipastikan Aldo akan bertanya lebih banyak hal. Oleh karena itu, Dira ingin melarikan diri. Namun, Aldo menahan lengannya dan membalikkan Dira ke posisi semula.

"Gue belum selesai!" geram Aldo.

"Gue nggak ngapa-ngapain Raga, swear!"

Setelah itu, tanpa aba-aba Dira berlari meninggalkan Aldo berteriak kesal memanggil namanya. Gadis itu tidak menoleh sama sekali dan memeluk erat buku-buku yang ia pinjam sebelumnya di dada.

Selesai mengembalikan buku pada pengurus perpustakaan, Dira kembali menyusuri rak-rak untuk mendapatkan bacaan baru. Kali ini bukan buku pembelajaran yang Dira cari. Setelah menumpuk otaknya dengan materi berat, Dira akan sedikit bersantai dan membaca novel romantis.

Ketika mengambil buku yang menarik minatnya, Dira berbalik. Namun, betapa terkejutnya ia ketika melihat seseorang berdiri tegak di depannya. Membuat novel yang dipegang Dira jatuh begitu saja.

"Astaga! Raga, ngapain lo?!" jerit Dira. Ia segera menahan mulutnya, takut mengganggung pengunjung lain. Ia menunduk untuk mengambil buku yang terjatuh tadi.

"Gue cari buku," jawab Raga.

"Ini rak khusus fiksi. Lo baca novel juga?" tanya Dira, takjub dan curiga.

"Kenapa enggak?" Raga bertanya balik. Ia tampak sedikit panik. Matanya tidak menatap langsung ke arah Dira. Raga berpura-pura mencari buku dan mengambil asal novel yang bahkan tidak ia baca judulnya.

"Ah ya, mumpung lo di sini, gue mau ngomong sesuatu."

Raga yang semula berniat pergi, mengurungkan itu. "Apa?"

"Gue pengin traktir lo makan. Sebagai ucapan terima kasih, karena udah terima gue sebagai murid lo."

Ya, Dira sudah merencanakan ini, berhubung ia berada di tempat yang sama dengan Raga. Dira kira, tidak masalah jika mengungkapkan sekarang.

"Nggak usah, gue ikhlas," jawab Raga tak acuh.

"Gue juga ikhlas traktir lo," tekad Dira. Ia tidak akan menyerah begitu saja.

"Oke." Dira sedikit terkejut, karena tidak perlu merayu Raga susah payah. Syukurlah.

"Gue denger ada kata "traktir". Gue boleh join?"

Kedua anak manusia berbeda kelamin itu menoleh ke arah sumber suara. Entah dari mana asalnya, Aldo sudah berdiri di ujung rak. Mengamati juga menguping pembicaraan Dira dan Raga.

RagathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang